"Mantan Presiden
Soeharto tak pernah berbohong ", kata Habibie guna mengagungkan guru besar
politiknya itu. Ucapan bohong dari Habibie itu disiarkan televisi CNN, Senin (
21/6) lalu.
Bahwa berbohong sudah
menjadi tradisi Soeharto, baik tatkala ia hendak membohongi Mayjen Sudarsono,
menjelang kudeta 3 Juli 1946 yang gagal, maupun mengenai pertemuannya dengan
Kolonel Latief, di RSPAD 30 September 1965 malam, juga mengenai masyarakat
Pancasila yang sosialistis religius. Dan kini fasis Habibie berbohong lagi , mengenai
dirinya , katanya murid Bung Karno, ketika bertemu dengan Rachmawati putri
Soekarno di Istana Merdeka , Jakarta, semalam. Seperti diketahui kedatangan
Rachamwati ke Istana Merdeka , dalam rangka berdirinya Universitas Bung Karno.
HEBATNYA AJARAN DAN
PEMIKIRAN BUNG KARNO
Pernyataan Presiden
Habibie bahwa dirinya murid dan sangat mengidolakan Bung Karno diragukan Dahlan
Ranuwiharjo. Menurut kader Presiden RI Pertama itu , kalau murid dan pengagum
Bung Karno harus memahami ajaran dan pemikirannya. "Saya baru dengar
Habibie mgomong seperti itu . Tapi nggak apa lah seorang mengaku murid Bung
Karno, itu hak setiap orang namun rakyat bisa menilai, benar tidaknya dari
gerak yang dibuatnya," ujar Dahlan.
"Sekarang
ini," menurut pendiri HMI itu, "memang ada suatu Euphoria terhadap
kebangkitan ajaran dan pemikiran Bung Karno . Ini disebabkan de-Sukarnoisasi
yang diterapkan selama rezim Orba sudah mencair." Sehingga begitu katup
itu dibuka , kader dan murid Bung Karno menghidupkan kembali ajajran dan pemikiran
Bung Karno. "Melihat hal ini," lanjutnya, "para politisi ingin
memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan politiknya . Sehingga pengaruh Bung
Karno sekarang itu sudah menjadi rebutan untuk menarik simpati rakyat."
"Padahal Bung karno
itu bukan komoditas yang diperdagangkan. Tapi sekarang ini sudah menjadi
rebutan . Inilah hebatnya ajaran dan pemikiran Bung Karno," ujarnya.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus itu, seorang
yang mengaku murid dan pengagum Bung Karno , tetapi tidak memahami ajaran dan
pemikiran Bung Karno, maka tidak akan efektif dalam menarik simpati rakyat.
Menyingung apakah Habibie memiliki kriteria sebagi murid dan pengagum Bung Karno itu, Dahlan mengatakan belum melihat ada indikasi seperti itu. Apa yang dilakukan Habibie belum sesuai dengan ajaran dan pemikiran Bung Karno. Dia memberi contoh, ajaran Bung Karno tentang Pasal 33 UUD 1945 , yang disebutkan antara lain disitu bahwa cabang cabang produksi yang menguasai hajad hidup orang banyak harus dilindungi oleh negara dan diberikan sebesar-besarnya untu kemakmuran rakyat. Tapi nyatanya, pemerintahan Habibie, melalui Meneg BUMN Tanri Abeng sekarang ini mau menjual pabrik Semen dan Baja kepada swasta.
Jelasnya, menurut Dahlan Ranuwiharjo Habibie berbohong kalau mengatakan demikian, dalam perbuatan lain yang dilakukannya . Ciri orang munafik tak sesuai kata dengan perbuatan.
Menyingung apakah Habibie memiliki kriteria sebagi murid dan pengagum Bung Karno itu, Dahlan mengatakan belum melihat ada indikasi seperti itu. Apa yang dilakukan Habibie belum sesuai dengan ajaran dan pemikiran Bung Karno. Dia memberi contoh, ajaran Bung Karno tentang Pasal 33 UUD 1945 , yang disebutkan antara lain disitu bahwa cabang cabang produksi yang menguasai hajad hidup orang banyak harus dilindungi oleh negara dan diberikan sebesar-besarnya untu kemakmuran rakyat. Tapi nyatanya, pemerintahan Habibie, melalui Meneg BUMN Tanri Abeng sekarang ini mau menjual pabrik Semen dan Baja kepada swasta.
Jelasnya, menurut Dahlan Ranuwiharjo Habibie berbohong kalau mengatakan demikian, dalam perbuatan lain yang dilakukannya . Ciri orang munafik tak sesuai kata dengan perbuatan.
HABIBIE TAK KENAL AJARAN
DAN PIKIRAN BUNG KARNO
Bahwa Habibie tak
mengenal ajaran dan pemikiran Bung Karno , jelas sekali dari ucapannya di depan
pimpinan pusat pemuda Muhamadyah bahwa Komas (Komunis, Marhaenis ,dan Sosialis
) dinyatakan sebagai gerakan yang menghalalkan segala cara untuk memecah belah
bangsa . Setelah dengan gencar serangan terhadap dirinya , maka Habibie meminta
semua pihak tidak menyalah artikan sebagai golongan yang ia sebut tadi
(Marhaenisme, Sosialisme) adalah identik dengan komunis, itu tidak demikian.
Habibie bukan bernama Habibie , bila ia tidak mencoba menyangkal menyerang
Marhaenisme dan Sosialisme.
Dikatakannya kemudian, yang diserang adalah komunisme, Marxisme dan Leninisme. Pengakuannya yang diserang hanya komunisme, marxisme, leninisme justru pengakuan bahwa ia tidak mengerti ajaran dan pemikiran Bung Karno. Jika Habibie mengerti ajaran Bung Karno tentu dia tidak akan menyerang komunisme, Marxisme, leninisme karena Marhenisme Bung Karno adalah penerapan Marxisme yag disesuaikan kondisi Indonesia. Malah pada 1926 saja Bung Karno sudah mengemukakan perlunya Persatuan kaum Nasionalis, Islam dan Marxisme, maka sesudah Pemilu 1955 persatuan Nasionalis , Islam dan Marxisme itu beliau bakukan menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme ).
Dikatakannya kemudian, yang diserang adalah komunisme, Marxisme dan Leninisme. Pengakuannya yang diserang hanya komunisme, marxisme, leninisme justru pengakuan bahwa ia tidak mengerti ajaran dan pemikiran Bung Karno. Jika Habibie mengerti ajaran Bung Karno tentu dia tidak akan menyerang komunisme, Marxisme, leninisme karena Marhenisme Bung Karno adalah penerapan Marxisme yag disesuaikan kondisi Indonesia. Malah pada 1926 saja Bung Karno sudah mengemukakan perlunya Persatuan kaum Nasionalis, Islam dan Marxisme, maka sesudah Pemilu 1955 persatuan Nasionalis , Islam dan Marxisme itu beliau bakukan menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme ).
Pengakuan Habibie bahwa
yang diserangnya hanya komunisme, Marxisme-Leninisme, hanya menunjukkan bahwa
guru politik yang sesungguhnya dari Habibie ialah Soeharto fasis dan bukan Bung
Karno, seorang demokrat yang sunguh-sungguh.
Kefasisan Habibie juga ditunjukkan dengan tidak mengizinkan berdirinya kembali PKI. Padahal di bawah kepemimpinan Bung Karno, hak hidup PKI senantiasa terjamin. Terang kiranya bahwa pengakuan Habibie dia murid adan pengagum Bung Karno adalah ucapan seorang munafik. Karena dalam tindakkannya justru ia menentang dipraktekkannya ajaran-ajaran dan pemikiran Soekarno, terutama tantang perlu digalangnya persatuan yang berbasiskan Nasakom. Habibie mengatakan bahwa dia murid dan pengagum Soekarno, yang tercermin antara lain dari unggulnya PDI-Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 7 Juni 1999 lalu. Ia ingin mendapatkan dukungan supaya bisa menjadi Presiden ke IV RI. Sebuah akal bulus murahan.***
Kefasisan Habibie juga ditunjukkan dengan tidak mengizinkan berdirinya kembali PKI. Padahal di bawah kepemimpinan Bung Karno, hak hidup PKI senantiasa terjamin. Terang kiranya bahwa pengakuan Habibie dia murid adan pengagum Bung Karno adalah ucapan seorang munafik. Karena dalam tindakkannya justru ia menentang dipraktekkannya ajaran-ajaran dan pemikiran Soekarno, terutama tantang perlu digalangnya persatuan yang berbasiskan Nasakom. Habibie mengatakan bahwa dia murid dan pengagum Soekarno, yang tercermin antara lain dari unggulnya PDI-Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 7 Juni 1999 lalu. Ia ingin mendapatkan dukungan supaya bisa menjadi Presiden ke IV RI. Sebuah akal bulus murahan.***
BUNG KARNO SEBAGAI PEMIKIR ISLAM
Oleh : M. Dawam Rahardjo
Bung Karno adalah seorang Muslim dan di Timur
Tengah diakui sebagai seorang pemimpim Muslim. Tapi di Indonesia, ia lebih
dianggap sebagai seorang pemimpin nasionalis, dari pada seorang pemimpimpin
Muslim. Hal ini berbeda dengan anggapan terhadap Dr. Sukiman Wirjosandjojo
umpamanya. Karena namanya tercantum dalam entry Ensiklopedia Islam. Barangkali
karena Dr. Sukiman adalah seorang tokoh partai Islam, Ketua Umum Partai Masyumi
yang pertama, sedangkan Bung Karno sendiri dianggap sebagai pendiri Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan nasionalis. Karena itu tidak salah
untuk menyebut Bung Karno sebagai seorang nasionalis, katimbang seorang
pemimpin Muslim, seperti Mohammad Natsir. Itulah maka Mohammad Hatta, juga
lebih dianggap sebagai seorang nasionalis, walaupun Hatta banyak menulis
mengenai Islam. “ Di mata para pengritiknya dari kalangan politisi Islam, “
kata Bambang Noorsena (2001), “Bung Karno bukan sosok seorang Islam santri”.
Itulah saebabnya ia tidak diakui sebagai seorang pemimpin Islam.
Bung Karno tak kalah banyaknya menulis tentang
Islam, bahkan ia lebih banyak menulis dan berpidato mengenai Islam, yang
mengeluarkan pemikiran-pemikiran keislaman, katimbang Dr. Sukiman yang justru
lebih banyak berbicara mengenai nasionalisme Indonesia. Karena itu dari sudut
sejarah perlu dipertambangkan kembali kedudukan Bung Karno sebagai, paling
tidak, seorang pemikir Muslim, yang turut menyumbang, secara cukup berarti,
dalam wacana keislaman. Bahkan Bung Karno boleh di bidang telah berjasa sangat
besar dalam da’wah Islam.
Tidak banyak yang tahu, bahwa Bung Karno, adalah
orang kunci dalam berdirinya Masjid Salman di kampus ITB. Pada suatu waktu,
panitia pendirian masjid Salman pada tahun 1960-an, telah gagal menempatkan
pembangunan masjid tersebut di dalam kampus. Tapi tiba-tiba Bung Karno
menanyakan status rencana pembangunan tersebut dan menanyakan pula gambarnya
dan memanggil panitia pembangunan. Setelah berdiskusi dan memberi komentar,
maka ia menulis dalam rancana itu “aku namakan masjid ini Masjid Salman”,
dengan inisial “Soek”. Itu berarti Bung Karno sekalu Presiden RI, telah
menyetui pendirian sebuah masjid di kampus. Padahal, pihak rektorat telah
menolaknya yang meminta agar masjid tersebut dibangun di luar kampus. Dengan
demikian, maka “Salman” adalah masjid kampus di universitas negeri yang pertama
di Indonesia, yang baru kemudian diikuti dengan berdirinya masjid Arief Rahman Hakim,
di kampus UI, Salemba, masjid Salahuddin, di kampus UGM atau masjid Raden
Patah, di kampus Universitas Brawijaya. Selanjutnya pendirian masjid kampus itu
diikuti oleh hampir semua universitas yang memiliki kampus. Masjid model Salman
ini mengikuti visi masjid modern yang tidak saja merupakan pusat ibadah (tempat
sholat saja), tetepi juga pusat kebudayaan dan kegiatan da’wah di kalangan
terpelajar, khususnya mahasiswa.
Pemberian nama “Salman” tidak pula sembarangan.
Ini mencerminkan pengetahuan Bung Karno mengenai Islam. Dalam sejarah Islam,
sahabat Salman dari Parsi, dianggap sebagai seorang “arsitek”, yang mengusulkan
dan mempimpin pembangunan benteng berupa parit dalam Perang Chandaq (Perang
Parit). Interpretrasi historis terhadap tokoh Salman ini diterima oleh kalangan
cendekiawan maupun ulama dan menjadi interpretrasi populer yang diucapkan dalam
ceramah-ceramah dan khutbah-khutbah jum’at dalam wacana da’wah. Sejak munculnya
nama Salman sebagai arsitek sahabat Nabi, maka profesi “arsitek Muslim” diakui
dan menjadi populer. Pola arsitektur masjid modern, juga berkembang, walaupun
juga berkat kreativitas Ir. Noekman, yang sangat dikenal sebagai arsitek Muslim
dari Masjid Salman ITB. Dalam kaitan ini, tidak bisa dilupakan, bahkan Bung
Karno sendiri adalah seorang arsitek.
Tapi jasa Bung Karno sebagai pemikir-budaya tidak
sampai di situ. Ia menerima pula ide Haji Agus Salim, yang dijulukinya The
Grand Old Man, -- julukan itu juga diterima dan menjadi populer dalam wacana
gerakan Islam di Indonesia --, walaupun Haji Agus Salim pernah memberikan
kritik tajam terhadap gagasan nasionalisme Bung Karno, untuk membangun Masjid
Baitul Rahim, sebuah masjid di halaman istana negara dengan arsitektur yang
indah, yang seringkali dibandingkan dengan gereja. Visi Bung Karno tentang
masjid mencapai puncaknya dengan pendirian masjid Istiqlal, yang merupakan
pengakuan terhadap jasa umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, karena
Istiqlal artinya adalah kemerdekaan, yang arsteknya adalah seorang Nasrani, Ir.
Silaban. Itu semua mencerminkan pandangan keagamaan Bung Karno yang luas dan
terbuka. Sulit menemukan pandangan seorang pemikir Muslim yang se “liberal”
Bung Karno.
Namun demikian, Bung Karno tetap saja tidak diakui
sebagai seorang pemimpin Islam atau pemimpin umat Islam dan juga tidak diakui
sebagai seorang pemikir Islam. Atau dalam rumusan yang lebih kena, seperti kata
Bambang Noorsena, “para pengritiknya dari kalangan politisi Islam, meragukan
kemurnian keislaman Bung Karno”. Syed Husein Alatas, seorang sosiolog Malaysia,
yang lama mengajar di Universitas Singapore, pernah menulis buku tentang “Islam
dan Kita”, dan dalam buku itu ia menampilkan empat tokoh nasional Indonesia dan
kaitannya dengan Islam. Di situ ia menyebut Bung Karno sebagai seorang pemimpin
Muslim namun tidak memiliki komitmen perjuangan Islam dan bahkan secara politis
menantang Islam. Tokoh yang disebutnya pemimpin Islam yang ideal adalah
Syafruddin Prawiranegara, seorang terpelajar yang mempunyai pemikiran tentang
Islam dan memiliki komitmen pula terhadap gerakan dan politik Islam. Ada dua
orang tokoh lagi yang ia bahas, yaitu Sutan Syahrir dan Tan Malaka. Syahrir
adalah seorang yang lahir dari keluarga Muslim di Minangkabau, tempat kelahiran
banyak pemimpin Islam, antara lain Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir, tetapi
ia ketika telah menjadi pemimpin telah tercerabut (uprooted) dari lingkungan
masyarakatnya dan menjadi tak acuh (indefferent) terhadap Islam. Sedang Tan
Malaka adalah seorang yang masih mengaku Muslim, mempunyai pengetahuan dan pemikiran
menganai Islam, tetapi pada dasarnya ia adalah seorang komunis yang ingin
memperalat Islam dan kaum Muslim untuk mencapai tujuan perjuangan komunisme di
Indonesia.
Bung Karno, sebagai seorang Muslim adalah
kebalikan dari Syahrir. Ia memang berasal dari keluarga abangan dan baru pada
umur 18 tahun berkenalan dengan Islam. Namun kemudian ia berkembang menjadi
seorang Muslim, walaupun belum bisa atau mungkin juga tidak mau disebut santri.
Walupun begitu, orang seperti A. Hassan atau Mohammad Natsir, tidak meragukann
keyakinannya terhadap Islam. Barangkali ia tepat disebut sebagai seorang muslim
marginal.
Ada beberapa faktor yang membentuk persepsi orang
terhadap Bung Karno. Pertama ia dianggap memiliki latar belakang dan masih
dipengaruhi agama Hindu dan Buddha, atau mungkin masih dipengaruhi oleh apa
yang disebut oleh antropolog Clifford Geertz, “agama Jawa”. Ajaran pewayangan
masdih nampak mempengaruhinya, walaupun ia adalah seorang yang mendapatkan
pendidikan modern Barat. Kedua, ia sering menyatakan dirinya sebagai penganut
Marxisme atau paling tidak mempergunakan (sebagian) teori Marxis dalam
analisis-analisisnya Dalam suatu rekaman wawancara yang diberi judul “Tabir
adalah lambang Perbudan” (Panji Islam, 1939), ia pernah berkata dengan bangga:
“Saya adalah murid dari Historische School van Marx”. Pernyataan ini sangat
berani, karena pengakuannya itu dikeluarkan justru ketika ia sedang berebicara
mengenai Islam , khususnya pandangan Islam mengenai perempuan.
Tulisan-tulisannya memang menunjukkan bahwa ia sering mempergunakan metode Marx
(walaupun ada yang menilai ia kurang atau salah memahami metode ilmiah Marx).
Ia bahkan mengemukakan gagasannya mengenai Marheinisme yang dikatakannya
sebagai “Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia”, walaupun menurut
ahli sejarah Lereissa, pahamnya itu sesungguhnya dipengaruhi oleh pandangan
seorang Marxis Rusia, Bakunin. Ketiga, pandangan-pandangan Bung Karno sering
berlawanan atau mendapat kritik tajam d ari pemikir-pemikir Islam terkemuka,
seperti Haji Agus Salim, A. Hassan dan Mohammad Natsir. Faktor-faktor itu semua
ikut mereduksi citra Bung Karno sebagai pemikir Islam.
Buku “Religi dan Religiousitas Bung Karno” karya
Bambang Noorsena yang memiliki latar belakang keyakinan Kristen Siria, ikut
menjauhkan Bung Karno dari citranya sebagai seorang Muslim sejati. Paling tidak
dikesankan dengan cukup meyakinan, bahwa paham tauhid yang dianut Bung Karno
tidak murni, setidak-tidaknya menurut paham Islam ortodoks. Disebutkan bahwa
bahwa Bung Karno tidak bertolak dari keluarga Muslim, bahkan pada masa
pra-remajanya dibesarkan dalam suasana Hinddu-Buddha atau “agama Jawa” menurut
pengartian Geertz. Dikatakan pula bahwa Bung Karno pernah menyebut dirinya
seorang “panteis-monoteis” atau paham wahdatul-wujud”. Konon, menurut Bambang
Noorsena, Bung Karno pernah mengaku kepada Louis Fischer, penulis biografi
Mahatma Gandhi, bahwa ia adalah sekaligus seorang Islam, Kristen dan Hindu.
Dergan perkataan lain, ia adalah seorang sinkretis. Itu semua manjauhkan citra
Bung Karno sebagai seorang santri atau seorang Muslim dalam ukuran ortodoks.
Tentang hal ini Noorsena mengatakan bahwa “spiritualitasnya yang ‘melintas
batas’ (passing over) agama-agama itu justru meneguhkan anggapan sementara
orang bahwa Sukarno menempuh jalan sufi”. Itu semua telah mereduksi citra Bung
Karno sebagai seorang Muslim.
Padahal, Bung Karno, di lain pihak, pernah
mendapatkan gelar doktor honoris causa di bidang tauhid, oleh sebuah lembaga
pendidikan agama yang prestisius, IAIN Syarif Hidayatullah, bahkan juga
mendapat gelar honoris causa di bidang filsafat oleh Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir. Gelar itu tidak mungkin diberikan oleh sebuah universitas Islam
seperti Al Azhar, jika lembaga itu meragukan iman Bung Karno dalam ketauhidan.
Pada waktu muda, Bung Karno pernah menjadi anggota
Sarekat islam dan Partai Sarekat Islam. Memang ia kemudian keluar dari partai
itu dan mendirikan sendiri PNI bersama-sama dengan kawan-kawan nasionalis yang
sepaham yang menganut aliran “nasionalis sekuler”. Tapi ia tetap mempertahankan
citranya sebagai seorang Muslim, antara lain dengan bergabung dengan
Muhammadiyah, sebuah organisasi yang berfaham “tauhid keras” (hard tauhid). Ia
bahkan aktif sebagai anggota pengurus lokal, ketika berada dalam pembuangannya
di Berkulu. Sebagai anggota dan aktivis Muhyammadiyah, Bung Karno pernah
mengeluarkan semboyan yang kemudian menjadi sangat populer dan menjadi semboyan
semua anggota Muhammadiyah, yaitu “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah”.
Konon ia pernah berwasiat, jika meninggal dunia, ia diusung dalam keranda yang
ditutup dengan bendera Muhammadiyah. Soekarno muda memang banyak berkenalan dan
dipengaruhi oleh Islam aliran “Persatuan Islam” yang diasuh oleh A. Hassan,
dimana seorang pemimpin Islam terkemuka, Mohammad Natsir dididik. Ia pernah
pula mengaku tertarik dan belajar banyak dari pemikiran Ahmadiyah. Tapi pilihan
terakhirnya adalah Muhammadiyah yang beraliran “sebersih-bersih tauhid”.
Menurut riwayat, Bung Karno mulai belajar Islam
secara serius, ketika ia meringkuk di penjara sukamiskin, Bandung, dari mana ia
membaca terbitan-terbitan Persatuan Islam, yang kini mungkin disebut sebagai
aliran “fundamentalisme” Islam, sebagaimana Al Islam, Solo, dimana M. Amien
Rais pernah lama belajar. Kegiatan belajarnya makin intensif ketika ia berdiam
di Endeh, Flores. Di situ dan pada waktu itulah ia berkorespondensi dengan A.
Hassan, pemimpin lembaga pendidikan Persatuan Islam yang mula-mula berpusat di
Bandung tapi kemudian berpindah ke Bangil, Jawa Timur hingga sekarang ini yang
dikenal sebagai penerbit majalah Al Muslimun.
Tapi, sebelum masa “Surat-surat dari Endeh” itu,
Soekarno muda sudah memiliki persepsi tenhtang Islam, yang agaknya ia peroleh
dari guru dan sekaligus mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto. Persepsinya mengenai Islam
adalah, bahwa Islam adalah sebuah agama yang “sederhana”, rasional dan
mengandung gagasan kemajuan (idea of progress) dan egaliter. Islam sebagai
agama (dengan semangat) kemajuan, pertama-tama dikemukakan oleh Tirtoadisoerjo,
pendiri Sareket Priyayi (1906) dan Sarekat Dagang Islam (SDI), Bogor-Jakarta
(1909). Dalam perjalanannya mencari Islam itu, Bung Karno permah dituduh ikut
dan menjadi propagandis aliran Ahmadiyah. Ia menolak keras tuduhan itu, tetepi
ia mengaku banyak tertarik oleh literatur Ahmadiyah, terutama karya-karya
Mohammad Ali dan Chawadja Kamaloedin, yang membawakan tafsiran-tafsiran
rasional atas Islam. Sokarno memang tidak bisa membaca bahasa Arab, karena itu
Islam dipelajarinya dari tulisan-tulisan berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman
yang dikuasainya. Pertemuannya dengan aliran Ahmadiyah itu agaknya diterimanya
dari Tjokroaminoto yang juga mempelajari Islam dari bahasa belanda dan Inggris,
termasuk terbitan-terbitan Ahmadiyah.
Dari situlah Soekarno muda memiliki persepsi
tentang Islam sebagai agama rasional, sebagaimana dibawakan oleh aliran
Ahmadiyah. Ia juga tertarik kepada aliran Mu’tazilah yang menamakan dirinya
aliran ”tauhid dan keadilan” (ahl al tauhid wa al adalah). Ia juga mengenal
filsuf-filsus Muslim pada Abad Pertengahan, seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Karena itu maka ketika ia memperdalam tentang Islam, ia merasa memiliki
pandadangan dan tafsiran tersendiri tentang Islam.
Di balik perhatiannya terhadap islam sebagai
ajaran, Soekarno muda sebenarnya menaruh perhatian terhadap masyarakat Islam
atau kondisi umat Islam, dalam konteks kolonialisme dan imperialisme. Di
samping ingin memperdalam ajaran-ajaran Islam, baik dari segi ibadah maupun
siyasah (politik) dan mu’amalah (sosial-ekonomi), Soekarno menaruh perhatian
terhadap aspek masyarakat dan paham-paham keagamaannya. Dalam melihat segi-segi
kemasyarakatan, Soekarno yang terlibat dan memimpin pergerakan nasional dan
mempelajari ilmu-ilmu sosial dan sejarah, termasuk membaca karya-karya Karl
Marx, merasa kecewa dan tidak menyetujui paham-paham Islam tradisional.
Soekarno muda, walaupun masih dan ingin belajar tentang Islam, namun sudah
berani menyatakan pendapat-pendapatnya yang kritis.
Soekarno muda yang sangat energetik itu, menyerang
doktrin taklid dan sikap menutup pintu ijtihad. Ia menantang kekolotan,
ketakhayulan, bid’ah dan anti-rasionalisme yang dianut oleh masyarakat Muslim
Indonesia. Ia berpendapat, bahwa Islam telah disalah-tafsirkan, karena umat
Islam dan para ulamanya lebih percaya dan berpedoman kepada hadist-hadist dan
pendapat ulama, dari pada berpedoman kepada al Qur’an. Ia pernah meminta
kiriman buku kunpulan hadist Bukhari, karena ia mencurigai beredarnya
hadist-hadist palsu yang bertentangan dengan al Qur’an. Di sini Soekarno muda
sudah memasuki pemikiran kritik hadist, yang hanya baru-baru ini saja menjadi
perhatian studi akademis. Pandangan Soekarno itu memang tidak baru, karena
tema-tama itulah yang telah dibawa oleh gerakan Muhammadiyah yang beraliran
moderbis. Karena itu, maka Soekarno muda sebenarnya adalah penganut paham Islam
modernis.
Namun seringkali ia mempunyai paham yang lebih
maju, yang mendahului zamannya atau lebih maju dari pandangan pemikir-pemikir
Muslim terkemuka pada waktu itu. Misalnya saja, ia menfanjurkan dipakainya
metode materialisme-historis yang diajarkan oleh Marx dalam mempelajari
npaham-paham keagamaan ketika itu. Ia melihat bahwa paham-paham Islam yang
dianggapnya keliru itu dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, khususnya stelsel
ekonomi. Ia mengikuti paham bahwa “bukan kesadaran yang menentukan keadaan,
tetepi sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran”, walaupun ia tidak
secara persis mengatakan begitu.
Dalam mempelajari Islam, dimana ia meminta
bahan-bahan dari Persatuan Islam Bandung, ia ingin mencocokkan dengan
pandangannya sendiri. Ia ingin membaca buku “The Spirit of Islam” yang terkenal
karya Syed Ameer Ali umpamanya, untuk dibandingkan dengan pandangannya sendiri.
Karena ia telah memiliki persepsi dan asumsi mengenai ajaran Islam, maka ia
ingin menampilkan pandangannya sendiri tentang Islam. Ia berfikir, hendaknya
dilakukan kritik terhadap paham-paham Islam yang tradisional, untuk kemudian
dikembalikan kepada sumber ajaran Islam yang paling autentik, yaitu al Qur’an.
“Anehnya”, Soekarno yang bersemangat itu, menganjurkan dipakainya ilmu
pengetahuan modern (modern science), seperti ilmu-ilmu sosial, biologi ,
astronomi atau elektronika untuk memahami al Qur’an. Dalam perkataannya
sendiri: “Bukan sahaja kembali kepada al Qur’an dan Hadist, tetepi kembali
kepada al Qur’an dan Hadist dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum”.
Ia bersikap kritis terhadap kitab-kitab tafsir, seperti karangan Al-Baghawi,
Al-Baidhawi dan Al Mazhari, karena tafsir-tafsir itu belum memakai ilmu
pengatahuan modern. Pandangan jauhnya terlihat dalam ucapannya sebagai berikut:
Bagaimana orang bisa betul-betul mengerti firman
Tuhan bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh Nya 'berjodoh-jodohan', kalau tak
mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan
negatif, tak mengetahui aksi dan reaksi?. Bagaimana orang bisa mengatahui
firmanNya, bahwa “kamu melihat dan menyangka gunung-gunung itu barang keras,
padahal semuanya itu berjalan selaku awan”, dan sesungguhnya langit-langit itu
asal-muasalnya serupa zat yang berlaku, lalu kami pecah-pecah dan dan kami
jadikan segala barang yang hidup daripada air, kalau tidak mengerti sedikit
astronomy ? Dan bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang meriwayatkan Iskandar
Zulkarnain, kalau tidak mengerti sedikit history dan archeology?
Pendekatan inilah yang kelak diikuti oleh
scientist Muslim seperti Sahirul Alim, Ahmad Baiquni atau M. Immaduddin
Abdurrahim.
Ia menganjurkan agar umat Islam itu tidak menengok
ke belakang, termasuk hanya mengagumi dan mengaung-agungkan zaman kejayaan Islam
(Islamic Glory), melainkan melihat jauh kemuka. Kuncinya adalah membuang jauh
sikap anti-Barat secara priori. Ia juga mengecam sikap tradisional yang
disebutnya sebagai “semangat kurma” dan “semangat sorban”. Saran lain yang
dikemukakannya adalah tidak terpakun pada yang halal dan haram saja, tetapi
juga kepada hal-hal yang mubah dan jaiz, dimana umat Islam mempunyai
kemerdekaan berfikir, sesuai dengan hadist nabi “engkau lebih tahu mengenai
masalah duniamu” (antum a’lamu bi umuri duniakum). Tidak saja di lapangan
pemikiran, Soekarno banyak menganjurkan perhatian, tetapi juga di bidang
da’wah. Ia mengagumi kegiatan misi Katholik di Flores dan menganjurkan agar hal
yang sama bisa dilakukan oleh da’wah Islam.
Kritik Soekarno muda memang blak-blakan dan keras,
sehingga ia sendiri merasa bisa disalah-pahami sebagai “anti-Islam”. Walaupun
menyadari risiko itu, ia tidak berhenti mengkritik paham-paham Islam yang
kolot. Tapi lebih tepatnya, di bidang da’wah ia lebih bersimpati kepada
muballig-muballig yang modern-scientific dan mengacam muballig-mubalkig “ a la
kyai bersorban” dan “a la hadramaut”. Ia sangat menghargai umpamanya, muballig
seperti Mohammat Natsir yang menulis Islam dalam bahasa Belanda untuk kaum
terpelajar.
Ia agaknya menginginkan, agar umat Islam
mengembangkan segi keduniaanya yang nabi Muhammad saw telah memberikan
kebebasan berfikir. Dalam rumusannya sendiri ia berkata:
Kita tidak ingat bahwa Nabi saw sendiri telah
menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia,
membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram atau tidak makruh.
Kita royal sekali dengan perkataan “kafir” , kita gemar sekali mencap segala
barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat - kafir, radio dan
kedokteran - kafir pantalon dan dasi dan topi - kafir, sendok dan garpu dan
kursi-kafir, tulisan Latin - kafir, ya pergaulan dengan bangsa yang bukan
Islampun - kafir ! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Roch Islam
yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang
mengagumkan, tetepi .... dupa dan korma dan jubah dan celak mata !
Kritik-kritik terhadap Islam tradisional yang
kolot, memang terasa tajam. Tetepi espresi itu sebanarnya justru menunjukkan
sikap jujurnya. Ia tidak takut dicap anti-Islam. Namun sikap yang sangat
menghendaki kemajuan itu agaknya pernah menimbulkan kejengkelan A. Hassan,
sehingga Soekarno mudah dituduhnya telah “kebablasan” , sehingga cenderung
menghalalkan apa yang dalam fiqih disebut haram. Soekarno memang banyak
mengkritik pemikiran dan cara berfikir fiqih dan cara berfikir taqlid terhadap
ulama terdahulu. Ia menginginkan berfikir dan melakukan reinterpretasi langsung
kepada al Qur’an dan Hadist yang sahih, sebab ia percaya bahwa Hadist yang
sahih tidak bertentangan dengan rasionalisme dan kemoderanan.
Memang kritik-kritik Haji Agus Salim, A. Hassan
dan Mohammad Natsir, ada kalanya cukup telak, misalnya dalam mengoreksi paham
cinta tanah air yang bisa menjerumuskan kita ke dalam memberhalakan tanah air ,
bangsa dan ras. Kritik semacam itu kelak muncul lewat tulisan-tuylisan Eric
Fromm tentang agama dan psikoalanisis yang mengingatkan bahwa manusia itu bisa
menyembah ras, bangsa, kekayaan dan seks. Tapi kritik-kritik seperti itu bisa
diterimanya dengan , sehingga ia melakukan koreksi dan defensi terhadap paham
nasionalismenya. Ia bisa cukup mengerti untuk tidak terjerumus ke dalam syirik
yang merusak kepercayaan tauhid yang murni.
Soekarno juga tidak merasa dendam terhadap para
pengeritiknya, bahkan ia sangat menghargai pemikiran semacam darti Haji Agus
Salim dan Natsir. Ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI, ia bahkan
mengangkat Natsir sebagai sekretarisnya yang sangat ia percaya. Banyak yang
menyayangkan bahwa hubungan Natsir-Soekarno itu retak. Kalangan Islam sendiri
banyak menyayangkan sikap Natsir umpamanya, mengapa ia tidak memelihara
hubungan dengan Soekarno, malahan lebih dekat dan dalam politik bahkan mengikut
kepada Syahrir. Padahal Syahrir adalah juga seorang Marxis atau sosialis. Tapi
berbeda dengan Soekarno yang memiliki empati yang sangat besar terhadap Islam,
Syahrir adalah orang yang sama sekali tidak peduli terhadap Islam. Banyak yang
menjelaskan bahwa Natsir telah terjebak dalam ikatan etnis dengan Syahrir dan
Hatta yang sama-sama orang Minang, sedangkan Soekarno adalah orang Jawa.
Padahal Syahrir menyatakan rasa tidak suka dan bahkan kebenciannya terhadap
Soekarno. Itulah sebabnya, pada akhirnya, Bung Karno merasa lebih dekat dengan
orang-orang PKI yang mendukungnya, paling tidak tidak memusuhinya. Bahkan
secara politis, Bung Karno merasa lebih dekat dengan NU daripada dengan
Masyumi.
Kritik-kritiknya terhadap paham Islam tradisional,
betapapun tajam dan kerasnya. Kritiknya yang jelas terpampang dalam tulisannya
yang berjudul “Tabir adalah lambang Perbudakan: Tabir tidak diperintahkan oleh
Islam”. Tapi di sini, nampak “prasangka baik” Bung Karno terhadap Islam. Ia
tidak menantang ajaran Islam itu sendiri, melainkan mengatakan bahwa tabir itu
tidak diperintahkan Islam. Ia tidak percaya bahwa mensekat kelompok laki-laki
dan perempuan itu adalah perintah Islam. Pandangan Bung Karno itu ternyata
dibenarkan oleh Haji Agus Salim. Tapi sikap Bung Karno sendiri tegas dan
uncompromising. Ia bahkan pernah protes dengan meninggalkan suatu pertemuan Muhammadiyah,
karena pertemuan itu membuat tabir, padahal ia melihat tabir adalah lambang
perbudakan perempuan.
Pandangan Soekarno tentang perempuan, ternyata
adalah contoh dari pandangan yang mendahului zamannya. Pandangannya yang
lengkap tentang perempuan menggerakkannya untuk menulis sebuah buku yang
berjudul “Sarinah”, sebuah buku yang sanggup menimbulkan rasa haru. Orang bisa
menangis membaca buku itu. Jauh sebelum timbulnya wacana modern mengenai
gender, Soekarno telah memiliki faham tentang feminisme. Pandangannya itu bisa
dikatakan mengikuti aliran Marxis. Di situ ia berpendapat bahwa diskriminasi
terhadap perempuan itu berakar dari stelsel sosial-ekonomi. Penindasan terhadap
perempuan adalah bagioan dari kapitalisme dan imperialisme. Karena itu untuk membebaskan
kaum perempuan, yang harus dilakukan adalah memberantas stelsel produksi.
Dalam buku “Sarinah” itu Bung Karno juga
mengemukakan sebuah pandangannya tentang agama. Disitu ia menguraikan evolusi
pandangan keagamaan, mengikuti tahap-tahap perkembangan masyarakat.
Pandangannya sejalan dengan teori evolusi August Comte. Sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang berdasarkan stelsel produksi (dalam istilah Marxis
modern mode of production dan social formation), maka agama yang dipeluk
masyarakat juga mengalami perubahan, dari mula-mula menyembah roh yang terdapat
pada benda-benda dan roh nenek moyang (animisme dan dinamisme), kepada
menyambah berhala, dan kemudian pada masyarakat agraris orang mulai mengenal
Tuhan yang Maha Esa. Konsekuensi dari teori evolusi ini adalah bahwa kelak,
setelah orang menguasai ilmu pengetahuan dan lingkungannya, kepercayaan kepada
Tuhan akan dengan sendirinya hilang. Marx sendiri juga berpendapat bahwa agama
itu tidak perlu dimusuhi, karena agama hanyalah m,anifestasi dari ketertindasan
dan alinasi.. Yang harus dilakukan adalah merubah masyarakat itu sendiri,
dengan melenyapkan segala bentuk penindasan. Analisis tersebut sebenarnya rawan
dan memungkinkan pencemaran citra Bung Karno sebagai pemikir. Orang bisa
menarik kesimpulan, bahwa Bung Karno itu jatidirinya lebih Merxis daripada
Muslim.
Tapi hal itu tidak benar, karena ketika
mengusulkan philosopische gronslag bagi negara Indonesia merdeka, disamping
menawarkan ideologi-ideologi modern, seperti humanisme, nasionalisme,
demopkrasi dan sosialisme, ia tidak lupa mengusulkan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang dalam pemahaman Muslim adalah ajaran tauhid. Karena itu, betapapun
Bung Karno “terseret” dalam metode berfikir Marxis, tetapi ia tetap seorang
Muslim.
Dalam perkembangan pemikiran Islam kemudian,
ternyata muncul juga paham keislaman yang menyerap Marxisme, seperti paham yang
ditawarkan oleh Ali Syari’ati. Teolog Muslim Mesir modern, Hasan Hanafi juga
menawarkan faham “Islam Kiri”. Kecenderungan Bung Karno terhadap Marxisme itu
sebenarnya menunjukkan bahwa Soekarno adalah orang yang berfikiran maju,
terbuka dan ilmiah. Tapi Bung Karno tidak menelan mentah-mentah Marxisme. Ia
ingin agar Marxisme, yang kekuatan utamanya adalah mampu “menelanjangi”
kapitalisme dan imperialisme itu, disesuaikan dan mampu mengisi nasionalisme
Indonesia. Terhadap Islampun juga, ia tidak menolak Islam. Bahkan, pada tahun
1927 pun, Soekarno telah menampilkan tiga ideologi yang paling maju dan
progresif, dengan ciri utamanya, anti kapitalisme dan imperialisme, yaitu
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Pemikirannya itu boleh disebut sangat
berani dan memberikan kualifikasi Soekarno sebagai seorang intelektual yang
berani melakukan sintesa terhadap paham-paham terkemuka di dunia. Ia bahkan
beranmi mensintesakan Islamisme dengan Marxisme yang dalam pandangan umum
bertentangan satu sam lain. Soekarno muda sendiri tertarik kepada Islam karena
wacana Sheikh Mohammad Abduh dan syed Jamaluddin Al afghani yang dikenal
sebagai pelopor faham Islam modernis yang dikiuti oleh Masyumi dan
Muhammadiyah.
Soekarno muda mengakui adanya apa yang disebut
Islamisme yang merupakan sebuah ideologi, seperti Marxisme dan Nasionalisme.
Islamisme itu kelak dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, ketika ia menjadi
salah seorang Ketua HMI pada tahun 1965. Tapi konsep Islamisme itu sendiri
tidak lagi berkembang, selain beberapa tulisan Mohammad natsir tentang konsep
negara dalam Islam atau islam sebagai dasar negara yang masih bersifat sangat
umum. Hal ini menunjukkan betapa telah majunya pemikiran Bung Karno mengenai
kemungkinan dikembangkannya sebuah ideologi Islamisme. Disini kita tidak
melihat bahwa Bung Karno itu anti Islam-politik. Cuma Bung Karno berfikir bahwa
Islamisme itu hendaknya mampu menyerap Marxisme dan bercorak nasionalis. Ia
bahkan mencoba menunjukkan adanya persamaan antara Islamisme dan Marxisme,
sebagaimana dilihat juga oleh Ali Syari’ati. Dalam suatu karangannya, Soekarno
menjelaskan:
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme,
musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula ! Sebab meerwarde sepanjang
Marxisme, dalamn hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam.
Meerwarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberi
bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekarja
mengeluarkan untung itu, -- teori meerwarde itu
disusun oleh Karl Marx dan Frederich Engels yang menarangkan asal-asalnya
kapitalisme terjadi. Meerwarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang
bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwarde inilah kaum Marxisme
memerangi kapitalisme sampai pada aker-akarnya !
Atas dasar keterangan tentang adanya persamaan
antara Islamisme dan Marxisme paling tidak dengan melihat persamaan konsep
weerwarde dan riba itu, maka Soekarno menganjurkan agtar jangan hendaknya umat
Islam memusuhi Marxisme, bahkan mengambil Marxisme untuk menjelaskan ajaran
Islam. Tapi yang terlebih penting, ia menghandaki persatuan antara tiga paham
itu dalam mendukung perjuangan Indonesia merdeka. Pada akhirnya, jati diri
Soekarno adan seorang nasionalis. Itu semua menunjukkan keberanian berfikir dan
kejujuran berfikir seorang Muslim seperti Soekarno.
Pandangannya yang menyeluruh dan terbuka menganai
islam digambarkan dalam karangannya dalam Panji Islam (1940) tentang “Me ‘muda’
kan Pengertian Islam”. Dalam karangannya itu ia antara lain mengemukakan
preporisi tentang flkesibilitas hukum Islam. Ternyata pandangannya ini dikecam
secara tajam dan sinis oleh A. Hassan. Padahal, Soekarno hanyalah mengutip
pandangan Sayid Ameer Ali dalam bukunya “The Spirit of Islam”. Cuma Soekarno
mempergunakan istilah yang kurang tepat, yaitu mengumpamakan fleksibilitas itu
dengan karet, sehingga ditangkap oleh A. Hassan, bahwa Soekarno menganggap
hukum Islam itu seperti hukum karet: “hukum yang jempol haruslah seperti karet,
“katanya, “dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam”.
Padahal menuruit citranya, hukum itu haruslah tegas untuk men jamin apa yang
disebut “kepastian hukum”.
Faktor yang mereduksi citra Bung Karno sebagai
pemikir Islam adalah pandangannya yang cenderung menyetujui langkah Turki yang
memisahkan agama dan negara. Dengan perkataan lain Soekarbo adalah seorang
nasionalis sekuler sebagaimana Kemal Ataturk. Kesan ini memang ada benarnya, tetapi
dengan catatan. Disamping ingin memisahkan agama dari negara, di lain pihak
Soekerno juga menghendaki revitalisasi Islam sebagai gerakan masyarakat.
Pandangannya ini sejalan dengan keterangan Talcot Parsons yang menyerahkan
kemabli agama kepada masyarakat. Sebab agama yang dipersatukan dengan negara
akan menciptakan sebuah negara teokrasi yang otoriter, yang menghambat dinamika
berfikir dan dinamika perkembangan masyarakat. Karena itu maka Soekarno adalah
penganut apa yang kini disebut sebagai “Islam liberal” di satu pihak dan “Islam
dinamis” (meminjam wacana mutakhir) di lain pihak.
Tapi perkiraan Bung Karno itu ternyata tidak
terbukti benar, karena sekularisme ternyata sangat menghambat perkembangan
pemikmiran Islam, seperti telah terjadi di Turki. Sekularisme ternyata juga
bisa menghasilkan suatu rezim otoriter dan di Turki didukung dengan pengaruh
militer atas kehiodupan politik. Kaum militer umpamanya, mencegah rekonsiliasi
Turki dengan dunia Islam dan mempertahankan citra Turki sebagai bagian dari
Eropa Barat, sementara kehendak elite politik Turki itupun ditolak oleh
negara-negara Eropa Barat. Pemerintah Turki ternyata bertindak otoriter ketika
memaksa Perdana Mentari Erbakan turun dari kekuasaannya, padahal Erbakan duduk
di pemerintahan dengan memenangkan pemilu.
Dalam tulisannya mengenai “memudakan” pengertian
Islam itu Bung Karno sebenarnya ingin memajukan Islam dan masyarakat Islam. Ia
ingin agar Islam yang telah dimudakan itu mampu membawa dan menjadi motor
perubahan kemasyarakatan. Hanya saja di dalam kehidupan politik, Bung Karno
tidak menyetujui penggunaan simbol Islam. Ia ingin Islam masuk ke dalam paham
kebangsaan. Ia juga mengecap sistem ketata-negaraan Islam menyetujui sistem
demokrasi parlementer yang dianggapnya sebagai demokrasi borjuis itu. Agaknya
ia berharap Islam mempunyai konsep sendiri mengenai demokrasi yang mengarah
kepada gagasan “demokrasi terpimpin” , yang kira-kira demokrasi yang
berdasarkan permusyawaratan darupada berdasarkan kebebasan yang memberi
peluang. Bagi tumbuhnya kapitalisme itu.
Sebenarnya Bung Karno tidak sepenuhnya setuju
dengan model Turki. Ia bahkan menampakkan simaptinya terhadap model Mesir yang
ingin mendamaikan agama dengan negara. Hanya saja, pengertian tentang Islam
oleh kaum Muslimin itu perlu diluruskan dengan pengetahuan modern. “Bukan di
dalam persatuan agama dan negara, bukan di dalam sistem yang menentukan Islam
menjadi pedoman bagi segala gerak-geriknya negara, terletak nya sebab
kemunduran dunia Islam”, katanya “tetapi di dalam salahnya pengertian tentang
agama. Di dalam kesalahan tafsir inilah letaknya sumber kebencanaan. Di dalam
kesalahan tafsir inilah letaknya segala kesalahan pula. Islam tidak menghalagi
kemajuan”, demikian tekannya, “Islam hanyalah salah ditafsirkannya, salah
diinterpretasikannya. Mesir lantas membuat interpretasi yang membuat pintu buat
kemajuan. Turki berbuat radikal, Mesir berbuat kompromintis”.
Di dalam spektrum kepemimpinan Islam di Indonesia,
Bung Karno menduduki posidsi yang unik. Ia menyumbangkan pemikiran-pemikiran
Islam dengan analisis ilmu-ilmu sosial modern yang tidak dilakukan oleh
pemimpin Islam manapun. Jika seandainya tidak ada orang seperti Bung Karno di
kalangan umat Islam, seorang Bung Karno perlu “ditemukan”, separti kata-kata
Paul Samualton terhadap Milton Friedman, bahwa seorang seperti dia “should be
invented”. Karena itu diskusi ini sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan
rediscovery mengenai Bung Karno sebagai pemikir Islam yang orisinal. Dan
bukannya kontroversial. Upaya ini merupakan argumen bahwa Bung Karno bukanlah
seorang sikretis, melainkan seorang penganut agama tauhid yang murni,
sebagaimana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Muhammadiyah.[Sumber
Paramadina.com]
Sweeping Buku Kiri dan
Pelanggaran HAM
Oleh Saiful Arif AKSI
sweeping buku-buku yang
berbau "kiri" cukup mengejutkan banyak pihak. Sebab, di alam segar
demokrasi ini, ternyata masih ada tindakan-tindakan yang di luar akal sehat.
Mulanya buku Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopia
ke Perselisihan Revisionisme, yang dibakar kelompok yang menamakan dirinya
Aliansi Anti Komunis (AAK). Lebih mengejutkan lagi lantaran buku itu, menurut
pengakuan sang penulisnya, ditulis justru untuk mengkritik komunisme. Aksi
membakar buku mengingatkan kita pada buku-buku karya Ibnu Rusyd (Averroes) yang
jumlahnya ratusan. Buku-buku itu dibakar oleh penguasa pada saat itu karena
dianggap tidak sejalan dengan keinginan rezim yang zalim di kota Seville,
tempat dia tinggal. Aksi sweeping buku yang hari-hari ini terjadi di beberapa
kota di negeri ini perlu menjadi catatan tersendiri bagi kemunduran dunia
intelektualitas. Sebab, cara-cara anarkis diberlakukan untuk mengungkapkan
suatu ketidaksetujuan. Jika keberadaan kelompok itu memang benar-benar
"antikomunis", tentu itu sedikit bisa dihargai. Sebab, memang
kesalahan PKI cukup sulit dihapus dalam jangka 10-30 tahun. Namun,
memperlakukan kritik dengan cara mempermalukan penulisnya (yang dianggap
sebagai bagian dari komunis) adalah bumerang. Yang pertama, dia dianggap
melecehkan HAM (hak asasi manusia). Yang kedua, isu antikomunis yang dibawa AAK
sulit menemui target yang direncanakan karena dia harus menghadapi musuh yang
sama sekali bukan komunis, melainkan masyarakat intelektual. Betapa memalukan.
Seperti halnya kucing mengejar tikus, ternyata yang hendak diterkam bukanlah
tikus, melainkan anjing. Alih-alih karena sang kucing tak bisa membedakan mana
tikus dan mana anjing. Asal main terkam saja. Sejenak marilah kita simak cerita
berikut. Barangkali kita bisa memetik pelajaran berharga yang diajarkan oleh
Bung Hatta, yakni seputar perdebatan tentang marxisme dengan seorang tokoh
Partai Komunis Belanda (Holland). Pada majalah Sin Tit Po, Hatta menulis sebuah
karangan yang cukup sensasional. Judulnya Enige Grondtrekken van de Economische
Wereldbouw (Garis-garis Pokok Bangunan Ekonomi Dunia, Nomor 6, 6 (?), 8, dan 9;
1938). Dalam terbitan selanjutnya, tulisan itu ditanggapi oleh Mevrouw (Nyonya)
Vodegel-Soemarmah (nama samaran Tan Ling Djie) pada April dan Mei 1939.
Judulnya cukup menantang: Apakah Hatta Seorang Marxis? Kemudian, Hatta membalas
tulisan itu pada majalah yang sama. Sayangnya, media itu sudah tutup. Akhirnya,
tulisan yang berjudul Ajaran Marx atau Kepintaran sang Murid Membeo? tersebut
diterbitkan oleh "Nationale Commentaren" pimpinan Dr Sam Ratulangi.
Dalam tulisan itu, Hatta benar-benar "marah" pada cara Nyonya
Vodegel-Soemarmah dalam mengulas soal marxis(me). Hatta mengatakan bahwa Nyonya
Vodegel-Soemarmah memandang Das Kapital karya Karl Marx sebagai kitab suci
dengan ayat-ayat yang mengupas semua soal ekonomi yang ada dalam masyarakat.
Padahal tidaklah seperti itu. Marx hanya berusaha melakukan konstruksi metodis
(tanpa banyak fakta dan data) atas perjuangan kelas dan tahap-tahap
perkembangan masyarakat. Tidak lebih dari itu dan Marx pun mengakuinya dalam
Das Kapital tersebut. Hatta menuduh bahwa Nyonya Vodegel-Soemarmah adalah
seorang penganut ideologi komunis yang dogmatis. Barangkali, dia tidak tahu,
demikian Hatta, bahwa Karl Marx sendiri pernah bilang bahwa"Saya bukan
marxis". Demikianlah cerita tersebut. Hatta tetap berpendirian bahwa
mempelajari karya Karl Marx tidak harus menjadi marxis dulu, seperti imbauan
Nyonya Vodegel-Soemarmah. Demikian pula manakala ada orang yang mempercayai
kebenaran teori Marx, baik materialisme historis maupun dialektika. Biarkan dia
memakai teori itu tanpa harus menjadi seorang marxis. Sebab, seorang marxis
akan berpeluang menciptakan dogma-dogma. Apa pelajaran yang bisa kita petik
dari cerita di atas? Pertama, perdebatan antara Hatta dan Nyonya
Vodegel-Soemarmah tetaplah berlangsung dalam koridor ilmiah, meskipun makian di
sana-sini tetap menjadi pekerjaan yang tak terlupakan. Hatta menulis, Nyonya
Vodegel-Soemarmah pun marah dan menganggapnya sok tahu tentang marxisme padahal
dia bukanlah seorang marxis. Demikian pula Nyonya Vodegel-Soemarmah menulis,
Hatta pun marah dan menganggapnyatelah memperlakukan Marx sebagai Tuhan! Waktu
Hatta dimaki-maki oleh Nyonya Vodegel-Soemarmah dalam tulisannya, dia tak
sedikit pun berniat untuk membakarnya, bahkan disimpannya secara baik-baik.
Dengan cara yang sangat indah dan bijak, dibalaslah tulisan orang yang
memaki-maki itu dengan tulisan pula, yang "maki-makian
intelektual"-nya tak kalah dahsyat. Kedua, serangan Nyonya
Vodegel-Soemarmah kepada Hatta -bahwa hanya marxis yang boleh bicara soal Karl
Marx dan perjuangan kelas, dan karena Hatta bukanlah marxis maupun anggota
komunis, maka dia dilarang untuk bicara soal Marx- telah dijawab dengan indah
dan bijak pula. Hatta mengatakan bahwa mempelajari karya-karya Karl Marx tak
harus menjadi marxis. Sebab, Karl Marx memiliki spektrum ajaran yang sangat
luas. Marxisme merupakan salah satu pendekatan dalam konstruksi metodis yang
cukup akurat di masa itu dan di wilayah itu. Di Indonesia, sosialisme bisa berkembang
dalam banyak cara, baik dalam Islam (sosialisme Islam, sekali lagi Islam),
rakyat Murba Tan Malaka, Marhaenis Soekarno, ekonomi kerakyatan Hatta, dan
sebagainya. Tentu di sini berlaku lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya. Dua pengalaman di atas setidaknya bisa dijadikan acuan berpikir bagi
kaum yang menolak komunisme bahwa tidak setiap orang yang belajar Marx, menulis
tentang Marx, bahkan Lenin dan Stalin adalah orang yang komunis, dan dengan
demikian bukunya harus dihancurkan karena tak sesuai dengan konstitusi.
Ingatlah bahwa spketrum metode yang ditawarkan oleh Marx memiliki implikasi
yang sangat luas, baik secara langsung maupun tidak. Marx juga tak pernah
membenci agama secara sangat frontal karena dia memang dibesarkan dalam lingkungan
Yahudi yang sangat taat. Tapi, dia sangat mengecam manakala agama telah
menyeret bapaknya yang tercinta kepada tiang gantungan, di depan matanya
sendiri saat Marx kecil. Marahlah seorang Karl Marx. Dalam kemarahannya itu,
dia bergumam bahwa agama adalah candu, melelapkan tidur panjang manusia. Marx
tidak hanya berkata, "Bangunlah wahai manusia dari belenggu dan dogma
agama!, tapi juga bangunlah dari belenggu marxisme (sebab saya sendiri bukanlah
seorang marxis). Di sisi lain, aksi pembakaran buku-buku yang berbau kiri
setidaknya menyiratkan apa yang pernah ditakutkan oleh Marx, bahwa dogma telah
menghancurkan segala sesuatu. Dogmatisme telah membawa manusia kepada jurang
kesewenang-wenangan tiada ampun. Dan, tampaknya, persis bahwa aksi pembakaran
buku ternyata berdiri di belakang layar dogmatisme itu sendiri. Dan membakar
buku adalah melanggar HAM. Mungkin ini adalah tugas baru Komnas HAM, yakni
mengusut dalang di balik pembakaran buku. *Saiful Arif adalah penulis buku dan
direktur Penerbitan Averroes Press Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Pos
Sabtu, 12 Mei 2001
Kamis, 3 Oktober 2002
Kata Pengantar Buku
"Aku Bangga Menjadi Anak PKI"Orientasi
Adalah Bagian Dari Idiologi Oleh: Abdurrahman Wahid
Pengantar ini hanya
membicarakan Bab I dari tulisan dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati
(selanjutnya, ditulis dr. Ribka, penulis),
berjudul "Aku Bangga Menjadi Anak PKI". Ada dua alasan mengapa kata
pengantar buku ini ditulis hanya mengenai Bab I, dan tidak mencakup bab II dan
bab III. Pertama, dalam pembahasan bab II dan III, tanpa membahas tindakan
pelanggaran konstitusi yang dilakukan Megawati Soekarnoputri, dkk, adalah
merupakan kekurangan yang sangat besar, bahkan- boleh dikatakan penggelapan
sejarah. Kedua, memang keseluruhan isi buku ini diberi kata pengantar berkenaan
dengan orientasi dari ideologi yang dibawakan oleh institusi/lembaga bernama
Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak
cara untuk meninjau idiologi tersebut, tetapi buku ini hanya membicarakan
orientasi partai tersebut. Pembicaraan tentang orientasi PKI ini menunjukkan
pembelaannya terhadap kepentingan rakyat kecil, yang oleh Karl Marx dan
Friederich Angels disebut sebagai kaum proletar. Tetapi, komunisme dapat
dilihat dari berbagai sudut yang tidak seluruhnya sesuai dengan azas
peri-kemanusiaan. Ketika Mao Zedong
mengalahkan Chiang Kai -Sek tahun 1949 dari Beijing, ia segera memerintahkan
pengadilan rakyat atas kaum borjuis dengan korban dua belas juta jiwa manusia
ditembak mati di seluruh daratan China. Gerakannya untuk melakukan revolusi besar
kebudayaan proletar memakan belasan juta jiwa, semua itu dilakukan untuk
kemurnian budaya kaum proletar. Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini secara
kemanusiaan? Inilah yang membuat mengapa kata pengantar buku ini hanya dibatasi
pada bab I belakang saja. Bahwa, penulis buku ini memiliki orientasi yang
benar- hal itu tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, orientasi itu sangat jelas
berjalan seiring dengan orientasi penulisnya, yaitu rasa peri- kemanusiaan yang
tinggi. Dalam hal ini, penulis buku ini
memiliki orientasi yang bersamaan dengan apa yang dimiliki oleh penulis
pengantar buku ini. Ayah penulis pengantar buku ini adalah seorang pejuang
gerakan Islam yang militan, tapi memiliki orientasi peri-kemanusiaan yang
tinggi. Karenanya, ia selalu bersikap simpati kepada kepentingan rakyat kecil,
sebagaimana ia dipahami dan dilihat sehari-hari. Kalau ayah dari dr. Ribka
adalah seorang ningrat dengan kakayaan besar sebagai konglomerat waktu itu,
orientasinya jelas berpihak kepada kepentingan rakyat. Ayah penulis pengantar
buku ini- pun seorang putera Kyai besar yang diistimewakan oleh para
pengikutnya dalam segala hal, tetapi ia membela kepentingan rakyat banyak dan
ia tidak menjadi aktivis partai komunis, melainkan menjadi penggerak idiologi
agama. Namun ia menentang negara agama, karena hal itu akan membedakannya dari
kedudukan warga negara non-muslim.
Sangatlah menarik untuk berspekulasi, bersediakah ayah dr.Ribka menerima
gagasan DN Aidit tentang sebuah negara komunis? Bisakah ia menjadi seorang
Boris Pasternak yang kecewa pada komunis? Dapatkah ia menjadi Milovan Djilas,
yang menganggap para fungsionaris partai komunis Yugoslavia sebagai kaum apparatchik penindas rakyat dengan
demikan menjadi "kelas baru"?
Karena alasan di atas, penulis kata pengantar buku ini lebih
mengutamakan aspek peri-kemanusiaan dari aspek-aspek yang lain. Dari buku ini,
tampak sekali generasi muda banyak memiliki orientasi kerakyatan dan mereka
menyatakan berpegang pada sebuah idiologi. Sikap ini sekaligus mengungkapkan
kelemahan dan kekuatan pendekatan orientatif yang mereka miliki. Kelemahannya,
dengan tidak berpegang pada "sisi keras" idiologi seperti ini, tidak
satupun idiologi yang berhasil diterapkan secara menyeluruh di dalam kehidupan
masyarakat bangsa kita. Dengan demikian, bangsa kita menjadi apa yang dikatakan
Gunnar Myrdal sebagai "bangsa lunak" (soft nation). Kekuatannya,
orientasi kerakyatan tersebut akan tetap menjadi panduan kita sebagai bangsa
dan kita tidak akan pernah terpecah-pecah secara serius. Saudara dr.Ribka yang
komunis dan penulis kata pengantar buku ini yang Islamis dapat bergaul dengan
mudah karena kami berdua penganut asas peri-kemanusiaan. Idiologi adalah
perambah jalan bagi kita berdua. (Ketika
mendiktekan kata pengantar buku ini, penulis kata pengantar buku ini
(Abdurrahman Wahid red) baru saja
mendapat pesan dari mantan Presiden Soeharto, diajak melepas Tommy Soeharto
dari penjara Cipinang ke Nusa Kambangan. Walaupun Tommy Soeharto pernah
mengeluarkan uang belasan milyar rupiah untuk demo melengserkan penulis kata
pengantar buku ini dari kursi kepresidenan, dengan langsung ia menjawab
bersedia). Bukankah Tommy Soeharto
berada dalam kedudukan sebagai narapidana, dan mantan Presiden Soeharto
menunjukkan penghormatan yang besar pada kedaulatan hukum? Bahwa nama Soeharto,
atau dirinya sekalipun, pernah digunakan untuk menindas orang lain, bagi
seseorang seperti penulis kata pengantar ini, mengharuskannya menghormati
mantan Presiden tersebut. Inilah konsekuensi terjauh dari sikap
berperikemanusiaan yang dianut oleh penulis kata pengantar buku ini. Karena sikap seperti inilah, lalu penulis
kata pengantar buku ini dihujat oleh sementara aktivis gerakan Islam yang
disebut "muslim garis keras", karena mengusulkan dicabutnya Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. XXV tahun 1966, yang
melarang penyebaran Marxisme-Leninisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI)
sebagai sesuatu yang tidak demokratis. Sikap menolak TAP MPRS tersebut, karena
atas dasar perikemanusisan. Dalam bahasa komunisme, sikap ini membuat penulis
pengantar buku ini sebagai "sesama pejalan" (fellow traveler), karena rasa peri-kemanusiaan yang tinggi. Memang sikap seperti ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang bersifat tanggung-tanggung, dan tidak akan pernah menghasilkan
negara yang benar-benar komunis, nasionalis ataupun Islam. Tapi, bukankah ini
jauh lebih baik dari pembantaian dan penjagalan manusia secara besar-besaran,
seperti yang terjadi di tempat-tempat lain? Dalam sejarah umat manusia, hal ini
sering kita jumpai- misalnya, Akhnaton
dalam sejarah Mesir kuno, Gramsci di lingkungan kaum komunis pada tahun-tahun
60-an, adalah contoh dari sikap ini. Panglima besar Jenderal Sudirman yang
memimpin Amgkatan Perang kita dari tahun 1945 hingga 1949, adalah contoh yang sangat
baik dalam hal ini. Kalau mengingat hal
ini, maka kita harus bersyukur memiliki ribuan orang pencipta idiologi yang
memiliki rasa peri-kemanusiaan yang tinggi. Ini yang menerangkan mengapa
dr.Ribka- yang berasal dari keluarga ningrat dan golongan borjuis menjadi
anggota PKI. Ini juga yang menerangkan mengapa Megawati Soekarnoputri yang
berasal dari keluarga rakyat kemudian mengikuti aspirasi borjuis yang ada.
Intinya, karena dalam masyarakat kita sangat kecil jumlahnya orang-orang yang
benar-benar memiliki idiologi seperti di negeri-negeri lain-seperti dikatakan
di atas. Hal ini menjadi kelemahan dan sekaligus kekuatan kita sebagai bangsa.
Dikatakan kekuatan, kalau rasa perikemanusiaan itu dapat diterjemahkan dalam
usaha-usaha yang luas untuk mewujudkan prinsip peri-kemanusiaan. Kalau tidak,
akan menjadi kelemahan yang dapat menggerogoti capaian-capaian yang diraihnya
di masa lampau. Sumpah serapah dan maki-makian atas tidak idiologisnya
perjuangan yang dilakukan, seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam
kanan yang berhaluan keras terhadap "perjuangan kaum tradisional",
menggambarkan kenyataan yang sangat memilukan akan munculnya gerakan Islam dari
kaum kanan dalam upaya idiologisasi yang mereka lakukan. Ini adalah sebuah
kenyataan yang harus diterima sungguh-sungguh, apabila diinginkan upaya
penyebaran Islam secara idiologis. Kalau tidak demikian, satu-satunya cara
adalah perjuangan kultural. Pengingkaran atas kenyataan ini hanya akan
menghasilkan sikap sok pahlawan, yang
justru tidak mencerminkan sikap bangsa kita yang menginginkan salah satu dari
pendekatan ini: pendekatan kultural, yang sama sekali tidak didasarkan pada
upaya kemasyarakatan. Jakarta, 10 Agustus 2002 Abdurrahman
Wahid, Kata Pengantar Buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI" Biografi
dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati, 2002.
Nama:
Ir. Soekarno
Nama Panggilan:
Bung Karno
Nama Kecil:
Kusno.
Lahir:
Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal:
Jakarta, 21 Juni 1970
Makam:
Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan):
Proklamator
Jabatan:
Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak:
Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah:
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu:
Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran:
Marhaenisme
Kegiatan Politik:
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
<index.shtml> <guru_bangsa.shtml> 3 <pidato_menggugat.shtml>4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ir. Soekarno
Nama Panggilan:
Bung Karno
Nama Kecil:
Kusno.
Lahir:
Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal:
Jakarta, 21 Juni 1970
Makam:
Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan):
Proklamator
Jabatan:
Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak:
Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah:
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu:
Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran:
Marhaenisme
Kegiatan Politik:
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
<index.shtml> <guru_bangsa.shtml> 3 <pidato_menggugat.shtml>4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Proklamator Soekarno (2)
Bung Karno sebagai Guru Bangsa
Oleh Baskara T Wardaya
Di antara banyak predikat yang telah diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.
Layaknya seorang guru yang cakap, ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebenarnya berat menjadi gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat luas.
Ingat, misalnya, saat secara berkala pada tahun 1958-1959 ia memberikan rangkaian "kuliah" guna menjelaskan kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara, masing-masing satu sila setiap kesempatan "tatap muka." Pada 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan bahwa Pancasila bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa.
Kuliah pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa lain yang biasanya diadakan di Istana Negara dan disiarkan langsung melalui radio ke seluruh penjuru Tanah Air. Berbeda dengan pidato-pidato Bung Karno di depan massa yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan lebih rileks dan komunikatif.
Dengan kuliah-kuliah itu tampaknya Bung Karno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar atau sakral yang hanya boleh dimasuki presiden dan pejabat maha penting negeri ini, tetapi Istana milik rakyat, tempat masyarakat belajar mengenai banyak hal, termasuk dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana (dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai "ruang kuliah" di mana terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dan pemimpinnya.
Teori dan praksis
Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya. Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.
Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan "buku" dengan "bumi," menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.
Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual sumber-sumber alam milik rakyat.
Absennya guru-guru lain
Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak "menikmati" posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah "ruang kuliah" raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai "murid-murid" yang patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya "guru-guru" lain. Ia tak keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-"gaya mengajar"-nya mendorong tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.
Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.
Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan "lepas" dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal.
Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.
Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.(*Dr Baskara T Wardaya SJ Mengajar di Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
*** Ensiklopedi Tokoh Indonesia, sumber Kompas 6/6/03
MUHAMMAD MENGAJARKAN SOSIALISME
JAUH SEBELUM KARL MARX
Oleh: Alam Tulus
Menurut "Buku putih" (G.30-S Pemberontakan PKI) yangditerbitkan
oleh Sekneg pada tahun 1994, bahwa pertentangan di dalam tubuh SI mencapai
puncaknya pada Kongres
Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan
Tan Malaka berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya Kongres, tapi usaha
mereka ini ditentang oleh seorang tokoh SI, H.Agus Salim. H. Agus Salim
menjawab semua argumen Semaun dan Tan Halaka dengan mengatakan bahwa,
"Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus
tahun sebelum Karl Marx" (hal: 11).
Sangat sayang, H. Agus Salim tidak menjelaskan isi ajaran Sosialisme yang
diberikan Nabi Muhammad tsb dan juga tidak menjelaskan mengapa setelah 14 abad
lamanya, ajaran sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad itu belum membumi.
Ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad tsb tentu bersumber dari dari Al Quran.
Marilah kita kaji ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran dan tanggapan
sementara tokoh-tokoh agama Islam terhadap sosialisme yang diajarkan Nabi
Muhammad tsb.
KONSEP KEADILAN KOLEKTIF
Islam pada dasarnya merupakan agama pembebasan, ujar Mansour Fakih dalam
tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas". Seperti diketahui
di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan
transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat
kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai
dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang
mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini,
berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari
budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah,
yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks
inilah sesungguhnya Muhammad lahir.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh
kaum kapitalis Mekkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin
egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul
antara kelompok elite Mekkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak
diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", akan
tetapi lebih bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari
doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan
monopoli harta. Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam
rangka membebaskan masyarakat dari segalabentuk penindasan dan ketidak adilan.
Dalam perspektif teologi kaum tertindas, ujar Mansour Fakih, peran seorang
Rasul seperti Muhammad, Isa dan yang lain adalah sebagai seorang pembebas kaum
tertindas. Musa, misalnya, sebagaimana Muhammad juga, tugas utamanya adalah
membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan
Firaun. Watak dari teologi pembebasan untuk kaum tertindas ini, selanjutnya juga
telah dikembangkan oleh kelompok Khawarij.
Merekalah yang pertama-tama dalam sejarah Islam mengembangkan doktrin
demokrasi dan sosialisme agama.
Kebangkitan gerakan Khawarij juga dilatar belakangi oleh fenomena
kontradiksi ekonomi yang muncul dalam bentuk persoalan kepemimpinan dan
masyarakat. Kontradiksi ini melahirkan kelompok Khawarij, suatu aliran yang
menekankan pada konsep keadilan kolektif. Konsep keadilan kolektif inilah yang
jadi asal muasal pandangan sosialistis dalam Islam (hal: 172-173, dalam buku
"Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam", 1989)
Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb tentu adalah sosialisme yang
hendak membebaskan kaum tertindas dan menjadikan kaum tertindas tsb sebagai
pemimpin di bumi dan itu adalah tingkat rendah dari masyarakat Tauhidi (ummat
yang satu, tanpa kelas-kelas).
SOSIALISME DALAM AL QURAN
Ajaran-ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad SAW tentu berdasarkan ayat-ayat
yang terdapat dalam Al Quran. AL Quran cukup jelas mengutuk orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta, hendak menjadikan kaum tertindas dan miskin
(mustadhafin) menjadikan pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, guna menuju ummat
yang satu (tauhidi). Marilah kitacermati ayat-ayat tsb.
a. TERKUTUKLAH ORANG-ORANG YANG MENUMPUK-NUMPUK HARTA
Bahwa Islam menentang sistem kapitalisme cukup gamblang diwakili oleh Surat
al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang
pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan
menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat
hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke
dalam neraka (hutamah).
Menjadi pertanyaan: dari mana mereka peroleh harta yang mereka
tumpuk-tumpuk tsb? Tentu tidak hanya dari hasil keringatnya sendiri, melainkan
juga dari hasil keringat orang lain, dengan melalui berbagai cara yang tidak
halal. Padahal surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan:
"Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil
(tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya".
Juga cukup jelas surat Al An'am ayat 145 mengatakan haram memakan darah
yang mengalir. Haram memakan darah yang mengalir itu bukan hanya secara
harfiah, misalnya melukai sebagian kulit seseorang kemudian dihirup darahnya
yang mengalir di tempat yang dilukai tsb, tetapi yang lebih mendalam ialah
menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya.
Seperti yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum buruhnya. Kaum buruhnya
tidak akan bisa diperas atau dihisapnya, sekiranya darahnya tidak-mengalir lagi
dalam tubuhnya. Jadi, menghisap tenaga kerja kaum buruh, adalah sama dengan
memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh tsb.
Menurut HOS Tjokroaminoto melalui bukunya "Islam dan Sosialisme"
yang ditulisnya pada bulan November 1924 di Maitarat, bahwa menghisap
keringatnya orang-orang yang
bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian
keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang
turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh
Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" (nilai lebih -pen)
adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah
perbuatan "riba" belaka. Dengan begitu maka nyatalahagama Islam
memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme
mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya
kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx
dan "memakan riba", sepanjang fahamnya Islam (hal: 17).
b. YANG TERTINDAS HENDAK DIJADIKAN PEMIMPIN
Bahwa agama Islam itu adalah agama pembebasan bagi kaum tertindas dan
miskin,jelas sekali dikemukakan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi:
"Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
(mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan
mereka di bumi."
Dari ayat ini jelas sekali bahwa Tuhan secara terbuka memihak kepada kaum
mustadhafin dalam perjuangannya melawan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh
dan kaya). Tuhan tidak bersikap netral dalam pertentangan antara kaum tertindas
melawan kaum penindas.
Bila kaum mustadhafin sudah menjadi pemimpin di bumi, maka tentu telah
tertutup jalan bagi kaum mustakbirin melakukan penindasan lagi terhadap kaum
Mustadhafin dan itulah Sosialisme Islam.
Menurut Asghar Ali Engineer melalui bukunya "Islam dan
Pembebasan" bahwa pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin itu akan
terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatakan semua
rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang
yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya dan miskin) sehingga menjadi
suatu masyarakat "tanpa kelas".
Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al Quran menghadirkan suatu teologi
pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok
penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam
fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islam
lah untuk merekonstruksi lagi teolosi Islam revolusioner transformatif dan
membebaskan itu (hal:l4).
Penilaian Asghar Ali Engineer yang terakhir ini sejalan dengan penilaian
Ulil Abshar Abdallah melalui bukunya "Membakar Rumah Tuhan". Menurut Ulil Abshar Abdallah bahwa persis hal
ini dengan apa yang terjadi pada agama Islam: semula menjadi agama
emansipatoris yang membawa aspirasi pembebasan dan perubahan, sekarang menjadi
agama yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo) (1999, hal:
44).
c. MASYARAKAT TAUHIDI, TANPA KELAS-KELAS
Cukup jelas Tuhan melalui surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: "Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat
yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku."
Menurut Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum
Tertindas", bahwa doktrin tauhid adalah tema pokok setiap teologi dalam
Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan,
dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif
"teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat
manusia.
Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam
bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu
konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas (hal: 173).
Dalam masyarakat Tauhidi ini, ummat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi
karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dsb. Dan itu
adalah sama dengan masyarakat komunis. Masyarakat Tauhidi ini, adalah tingkat
yang lebih tinggi dari masyarakat yang dijanjikan Tuhan:
"Akan menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin di bumi dan
mewarisi bumi."
Untuk bisa membuminya isi surat Al Qashash ayat 5-6 sebagai langkah awal
menuJu masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), maka kaum mustadhafin harus
mengamalkan Surat Al Ra'du ayat 11, yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah
tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri
mereka."
Menurut petunjuk Al Quran tsb, bila kaum Mustadhafin (tertindas dan miskin)
tidak mengubah keadaan diri mereka, tidak berjuang melepaskan belenggu yang
dililitkan
mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan
miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya
mengharap belas kasihan kaum mustakbirin.
Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang
mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin. Perjuangan melepaskan
belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl
Marx, "usaha kaum" dalam bahasa Ar Ra'du ayat 11.
Malahan supaya kaum mustadhafin ini bisa bebas dari penindasan, Tuhan
memperingatkan ummat Islam melalui surat An Nisa ayat 75: "Mengapa kamu
tiada mau berperang di jalan Allah dan (membela) orany-orang yang lemah baik
laki-laki, perempuan-perempuan, dan kanak-kanak yang semuanya berdoa:
"Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya
dan berilah kami perlindungan dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari
sisiMu"."
Dengan demikian jelas bahwa berjuang (berperang) diizinkan Al Quran untuk
mengakhiri kezaliman dan untuk melindungi orang-orang yang lemah dari
penindasan orang-orang kuat.
Al Quran tidak mengizinkan berperang untuk memaksa seseorang memeluk agama
Islam. Hal itu dengan tegas telah dikatakan Tuhan: "La ikraha fi al
Din" (tidak ada paksaan dalam agama). Malah surat Al Kafirun dengan tegas
mengatakan:
"Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".
TITIK PERTEMUAN ISLAM DAN KOMUNISME
AK Pringgodigdo SH dalam bukunya "Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia" mengemukakan bahwa H. Misbach, seorang komunis keagamaan 76
tahun yang lalu, di depan Kongres PKI di Bandung pada tanggal 4 Maret 1925
menunjukkan dengan ayat-ayat Al-Quran, hal-hal yang bercocokan antara komunisme
dan Islam (antaranya, kedua memandang sebagai kewajiban, menghormati hak-hak
manusia dan bahwa keduanya berjuang terhadap penindasan) dan diterangkannya
juga, bahwa seseorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia
seorang Islam sejati; dosanya itu adalah lebih besar lagi, kalau orang memakai
agama Islamsebagai selimut untuk mengkayakan diri sendiri. Komunisme
menghendaki lenyapnya kelas-kelas manusia (hal: 28).
Seorang Bung Karno melalui tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme" mengatakan: "Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa
kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula"; "Islamis
yang "fanatik" dan memerangi marxisme, adalah Islamis yang tak kenal
larangan-larangan agamanya sendiri"; "Hendaknya kaum itu sama ingat,
bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyak persesuaian cita-cita,
banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan" (DBR, hal: 12-15-14).
KESIMPULAN
H. Agus Salim benar bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan Sosialisme
seribu dua ratus tahun sebelum MarX. Karena Manifes Komunis yang terbit pada
tahun 1848 adalah hasil studi Karl Mark tentang perkembangan sistem masyarakat
sebelumnya. Tentu juga termasuk, baik secara langsung atau tidak, Sosialisme
yang diajarkan Nabi Muhammad tsb.
Karena tujuan yang hendak dicapai Islam dengan komunis sama-sama masyarakat
tanpa kelas (Tauhidi-komunis) dan hal itu akan terwujud melalui tingkatan
masyarakat sosialis
(mustadhafin menjadi pemimpin di bumi).
Masyarakat sosialis baru terwujud atas "usaha kaum" atau
perjuangan kelas, maka sudah pada tempatnya kerjasama komunis untuk merebutnya.
Hanya saja kaum kapitalis (mustakbirin) berkepentingan mencegah terjadinya
kerjasama Islam dan komunis, agar kaum kapitalis tetap dapat berkuasa.
Karena Sosialisme adalah ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri, maka semestinya
setiap yang mengaku Muhammad itu adalah Rasullullah, ia akan memperjuangkan
untuk adanya sosialisme itu. Itu sebagai langkah awal untuk membuminya
masyarakat Tauhidi di Indonesia. Karena itu terasa aneh, karena dewasa ini di
Indonesia, tidak ada satu partai yang memakai bendera Islam yang mengibarkan
panji-panji Sosialisme. Malah
ada yang menentang Sosialisme.
Hal itu sudah disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa ada orang Islam
yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo). Sesungguhnya orang
yang mengaku Islam, tetapi tidak berjuang untuk membumikan masyarakat Tauhidi
(ummat yang satu), tentu dipertanyakan keIslamannya: apakah mereka benar-benar
pengikut Nabi Muhammad Saw, atau tidak? Jika ya, tentu mereka akan mendukung
tegaknya masyarakat Tauhidi tsb. Bila tidak, soalnya menjadi lain. ***
:
http://www.google.com/search?q=cache:KvzlPMCzJuEJ:www.tf.itb.ac.id/~eryan/FreeArticles/SosialismeIslam.html+islam+dan+marxisme+di+indonesia&hl=en&ie=UTF-8
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (11)
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (11)
BELAJAR DARI PANDANGAN
BUNG KARNO TENTANG MARXISME
BUNG KARNO TENTANG MARXISME
(Oleh : A. Umar Said)
Mohon diperkenankanlah
hendaknya, bahwa tulisan kali ini, di samping
disajikan kepada para pembaca, dimaksudkan juga sebagai surat terbuka yang bersisi curahan-hati dan imbauan kepada para
pimpinan dan kader-kader Nahdatul Ulama,
Muhammadiayah, Majlis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan,
Partai Golkar, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Nahdatul Umat,
Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan juga partai-partai lainnya
yang tidak disebutkan (karena terlalu panjang!). Juga mohon diperbolehkan
kiranya, sebagai seruan atau ajakan kepada para pimpinan pondok pesantren dan
berbagai organisasi Islam, untuk merenungkan hal serius yang berikut :
Menurut berita yang
sudah tersiar di luarnegeri, sejak beberapa hari ini toko-toko buku Gramedia,
baik yang di Jakarta maupun yang di kota-kota lain, terpaksa menarik dari
peredaran buku-buku yang mengandung ajaran Marxisme, komunisme atau
ajaran-ajaran kiri lainnya. Sekitar 30 judul buku sudah dihilangkan dari
rak-rak penjualan, termasuk buku karya pengarang ternama : Pramoedya Ananta
Toer, filosuf Frans Magnis Suseno dan pengamat politik Hermawan Sulistyo.
Langkah ini telah diambil oleh pimpinan Gramedia, karena ada ancaman dari
Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam bahwa mereka akan menyerbu
toko-toko buku Gramedia dan membakari buku-buku yang berbau kiri.
Menurut pimpinan Gerakan
Pemuda Islam (GPI), sekitar 36 000 anggota GPI Jakarta Raya akan melancarkan
aksi-aksi terhadap toko-toko terkemuka di Jakarta pada tanggal 20 Mei yad,
bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Aksi ini untuk menunjukkan
komitmen mereka dalam menentang komunisme. Gramedia mempunyai 42 cabang di
seluruh negeri, dan 16 di antaranya terdapat di Jakarta. (kutipan dari Jakarta
Post 3 Mei 2001). *
Apa yang terkandung dalam berita tersebut di atas patutlah kiranya mendapat perhatian yang serius dari para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan Islam. Sebab, kalau rencana aksi tersebut jadi dilaksanakan juga, maka akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan siapa saja. Sebaliknya, aksi-aksi semacam itu akan merugikan kita semua sebagai bangsa, dan juga akan bisa merugikan citra Islam sebagai keseluruhan, walaupun hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari kalangan Islam. Marilah persoalan ini
sama-sama kita telaah dari berbagai segi, demi kepentingan kita semua.
Apa yang terkandung dalam berita tersebut di atas patutlah kiranya mendapat perhatian yang serius dari para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan Islam. Sebab, kalau rencana aksi tersebut jadi dilaksanakan juga, maka akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan siapa saja. Sebaliknya, aksi-aksi semacam itu akan merugikan kita semua sebagai bangsa, dan juga akan bisa merugikan citra Islam sebagai keseluruhan, walaupun hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari kalangan Islam. Marilah persoalan ini
sama-sama kita telaah dari berbagai segi, demi kepentingan kita semua.
Selama ini, citra
Indonesia sudah sangat buruk di arena internasional, sebagai akibat begitu
banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara besar-besaran
oleh rezim militer Orde Baru/GOLKAR selama puluhan tahun (harap ingat, antara
lain : pembunuhan massal jutaan orang tidak bersalah dalam tahun 65/66,
penahanan terhadap orang-orang tidak bersalah selama puluhan tahun, perlakuan
terhadap para eks-tapol beserta keluarga mereka, dimatikannya demokrasi, kasus
Timor-Timur dll). Citra yang sejak lama sudah buruk ini, akhir-akhir ini masih,
dan makin, diperburuk lagi dengan adanya permusuhan berdarah antar-agama atau
antar-suku. Di samping itu, masalah korupsi besar-besaran yang begitu banyak
dilakukan oleh para tokoh Orde Baru/GOLKAR (yang kebanyakan juga mengaku
beragama Islam!) menambah juga buruknya citra bangsa kita sebagai keseluruhan.
Bagi banyak orang Indonesia yang tinggal di luarnegeri, masalah ini terasa
sekali.
Oleh karena itu, adalah
kewajiban kita bersama (terutama bagi tokoh-tokoh Islam) untuk melakukan
pekerjaan pendidikan, penjelasan, atau “peringatan” terhadap golongan-golongan
yang sehaluan (atau sealiran fikiran) dengan Aliansi Anti Komunis dan GPI
supaya rencana aksi mereka itu jangan sampai dilaksanakan. Sebab, pada hakekatnya,
dengan ditariknya buku-buku kiri dari peredaran bukanlah berarti “kemenangan”
bagi mereka (dan golongan-golongan yang sefikiran dengan mereka). Bahkan
sebaliknya. Tindakan-tindakan ini, atau tindakan dalam bentuk lainnya yang
senafas, menunjukkan kwalitas rendah jati diri pelaku-pelakunya (dan
organisatornya atau para sponsornya!!!).
Ancaman, teror, tekanan, apalagi aksi kekerasan yang serupa, bukanlah sesuatu yang bisa membikin citra Islam menjadi lebih baik. Bahkan sebaliknya. Padahal, perbuatan semacam itu hanyalah ulah segolongan kecil orang-orang yang menamakan diri mereka Islam.
Ancaman, teror, tekanan, apalagi aksi kekerasan yang serupa, bukanlah sesuatu yang bisa membikin citra Islam menjadi lebih baik. Bahkan sebaliknya. Padahal, perbuatan semacam itu hanyalah ulah segolongan kecil orang-orang yang menamakan diri mereka Islam.
Mengingat itu semuanya,
alangkah menyedihkannya, kalau para tokoh Islam (atau tokoh dari golongan atau
kalangan yang manapun!) membiarkan saja adanya gejala-gejala yang semacam itu.
Lebih-lebih lagi, kalau mereka senang atau menyetujuinya. Sebab, kalau memang
demikian halnya, maka akan lebih kelihatanlah betapa parahnya “kekerdilan” jiwa
para tokoh-tokoh itu.
Kekerdilan atau kepicikan cara berfikir para “elite” demikian itu adalah kerugian bagi bangsa dan negara kita. Juga kerugian bagi citra Islam.
Kekerdilan atau kepicikan cara berfikir para “elite” demikian itu adalah kerugian bagi bangsa dan negara kita. Juga kerugian bagi citra Islam.
PENGHINAAN TERHADAP HARI
KEBANGKITAN NASIONAL
Ancaman oleh Aliansi
Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam untuk menyerbu, atau membakar, atau
melarang peredaran buku-buku “kiri” itu saja sudah patut menjadi bahan renungan
serius kita bersama. Apalagi, ditambah pula bahwa aksi itu akan dilakukan pada
Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, hari bersejarah KITA SEMUA. Padahal, sesuai
dengan jiwa dan namanya, Hari Kebangkitan Nasional adalah, selama ini,
merupakan hari mulia bagi semua komponen bangsa, semua suku, semua agama dan
kepercayaan, semua ras, dan semua aliran politik, yang terdapat di Indonesia.
Kalau kita tengok ke belakang, nyatalah bahwa sejarah kebangkitan nasional kita
adalah suatu rentetan panjang perjuangan. (Ma’af, bahwa dalam tulisan ini
diulangi lagi hal-hal yang sudah dikemukakan dalam tulisan terdahulu, supaya
lebih jelas lagi). Rentetan ini yang dimulai oleh lahirnya Boedi Oetomo dalam
tahun 1908, telah diteruskan, telah dipupuk dan dikembangkan oleh banyak orang
dari berbagai golongan dan aliran. Kita ingat kepada Sarekat Dagang Islam
(1911) yang dipimpin oleh Haji Samanhudi. Kepada Sarekat Islam (1912) yang
dipimpin oleh Haji O.S.Tjokroaminoto. Kepada Sarekat Islam merah (Semarang)
yang dipimpin oleh Semaun, Alimin dan Darsono. Kepada Sarekat Islam putih
(Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Agus Salim, Abdul Muis dan Suryopranoto.
Kepada Indische Partij (1912) yang dipimpin oleh Dr Douwes Dekker (Dr
Setiabudhi), Suwardi Suryaningrat dan Dr Tjiptomangunkusumo. Kepada
Muhammadiyah (lahir di Yogyakarta, tahun 1912) yang dipimpin oleh Haji Ahmad
Dahlan.
Proses kebangkitan
nasional ini kemudian diteruskan oleh lahirnya PKI (1920), yang juga dipimpin
oleh Semaun, dan disambung oleh pembrontakan PKI melawan pemerintahan kolonial
Belanda dalam tahun 1926 dan 1927. Lahirnya Perhimpunan Indonesia (PI) di
Belanda dalam tahun 1922, yang tokoh-tokohnya adalah Moh.Hatta, Nazir Datuk
Pamuncak, Abdulmadjid Djoyodiningrat, Ali Sastroamidjoyo juga merupakan
mata-rantai kebangkitan nasional bangsa. Lahirnya PNI tahun 1927 di bawah
pimpinan Bung Karno adalah peristiwa besar dalam proses kebangkitan nasional
bangsa kita, yang diiringi oleh peristiwa besar lainnya, yaitu Sumpah Pemuda (1928).
Mengingat sejarah
Kebangkitan Nasional yang demikian itu, maka terasa sekalilah betapa besar
penghinaan aksi yang direncanakan oleh Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda
Islam dengan “menggerebeg” toko-toko buku yang mengedarkan penerbitan-penerbitan
yang berhaluan kiri atau bercorak komunis dan Marxis, pada hari yang kita
muliakan bersama itu. Dari segi inilah kita bisa melihat betapa parahnya akibat
buruk yang ditimbulkan oleh ketetapan MPRS 25 tahun 1966, yang telah dipaksakan
oleh rezim Orde Baru/GOLKAR.
Dalam kaitan ini, adalah
amat penting bagi kita semua (termasuk mereka yang sehaluan dengan Aliansi Anti
Komunis dan GPI) berusaha menelaah dengan jernih dan nalar sehat, mengapa para
pendiri rezim Orde Baru (khususnya pimpinan TNI-AD, waktu itu) memaksakan
dikeluarkannya TAP MPRS 25/1966 itu, dan apa pula akibat-akibatnya bagi bangsa
kita. Tanpa merentang-panjangkan lagi persoalannya (dalam tulisan ini) maka
jelaslah bahwa TAP MPRS itu telah digunakan untuk menghancurkan PKI beserta
seluruh kekuatannya yang terhimpun dalam berbagai organisasi massa. Walaupun
jutaan simpatisan, anggota, atau yang dituduh anggota PKI sudah dibunuhi dan
ratusan ribu lainnya dipenjara dalam jangka panjang sekali, mereka (para
pendiri Orde Baru/GOLKAR) masih menginginkan supaya dengan ketetapan MPRS
25/1966 itu semua orang tidak berani mencoba-coba lagi untuk “menghidupkan”
kembali PKI.
Selama lebih dari 32
tahun (sampai sekarang!!!) TAP MPRS 25/1966 ini telah dijadikan alat terror
yang luar biasa ganasnya. Sebagai akibatnya, bukan hanya keluarga atau
simpatisan PKI saja yang merasa dipersekusi, tetapi juga orang-orang lain (yang
non-PKI) dalam masyarakat. Ditambah dengan kampanye dan peraturan “bahaya laten
PKI”, “bersih lingkungan”,“surat bebas G30S”, maka seluruh negeri telah
diterror secara mental. Indoktrinasi“PKI jahat” itu yang dilancarkan oleh Orde
Baru secara intensif sekali, - lewat berbagai cara dan dalam jangka lama -
telah meracuni fikiran banyak orang di berbagai golongan, baik di kalangan
pejabat, kalangan agama, maupun kalangan
pelajar dan pemuda.
pelajar dan pemuda.
Kalau kita telaah
pengalaman bangsa kita selama Orde Baru, nyata sekalilah bahwa penyebaran racun
“PKI jahat” ini adalah tindakan yang tidak berperi-kemanusiaan, yang telah
membikin kesengsaraan bagi banyak sekali orang. Banyak sekali anggota keluarga
para korban 65 dan keluarga eks-tapol yang mengalami berbagai penderitaan yang
berkepanjangan. Padahal, banyak di antara mereka itu yang juga beragama Islam.
Adalah suatu hal yang patut menjadi pemikiran bagi para tokoh-tokoh Islam
mengapa keadaan yang menyedihkan ini dibiarkan saja. Apalagi, kalau diingat
bahwa perlakuan yang begitu kejam itu dilakukan (atau didukung) oleh
kalangan“elite” kita (termasuk, bahkan terutama, “elite” yang menamakan diri
Islam).
BELAJAR DARI SEJARAH
BUNG KARNO
Oleh karena aksi Aliansi
Anti Komunis dan GPI itu direncanakan akan dilaksanakan dalam rangka Hari
Kebangkitan Nasional dan juga menjelang akan dirayakannya HUT ke-100 Bung
Karno, maka ada baiknya kita melihat persoalan ini dari sudut pengalaman
sejarah Bung Karno. Sebab, agaknya, bangsa kita perlu terus-menerus ingat bahwa
Bung Karno, sebagai tokoh nasionalis yang berorientasi politik kiri, telah
memimpin perjuangan bangsa sejak muda (sampai menjelang akhir hayatnya) dengan
gagasan besar mempersatukan seluruh bangsa atas dasar persatuan golongan
nasionalis, agama dan komunis (Marxis).
Tulisannya dalam Suluh Indonesia Muda (1926) ketika ia masih berumur 25 tahun (!) - dan sebelum mendirikan PNI (1927) - sudah menggambarkan dengan jelas konsepnya ini. Konsep besarnya inilah yang kemudian telah membimbingnya dalam memimpin perjuangan bangsa, sampai ia menjadi kepala negara. Konsep besarnya inilah yang juga dituangkannya dalam memperkenalkan Marhaenisme (sekitar tahun 1930), yang merupakan ekspressi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Socio-nasionalisme dan Socio-demokrasi.
Tulisannya dalam Suluh Indonesia Muda (1926) ketika ia masih berumur 25 tahun (!) - dan sebelum mendirikan PNI (1927) - sudah menggambarkan dengan jelas konsepnya ini. Konsep besarnya inilah yang kemudian telah membimbingnya dalam memimpin perjuangan bangsa, sampai ia menjadi kepala negara. Konsep besarnya inilah yang juga dituangkannya dalam memperkenalkan Marhaenisme (sekitar tahun 1930), yang merupakan ekspressi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Socio-nasionalisme dan Socio-demokrasi.
Dalam berbagai
kesempatan, Bung Karno telah mengungkapkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme
yang ditrapkan atau disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Dinyatakannya juga
berkali-kali bahwa ia adalah seorang sosialis, seorang kiri, seorang Muslim
yang menggunakan materialisme-histori dalam memandang persoalan-persoalan
sejarah dan masyarakat. Agaknya, dasar-dasar pemikirannya ini pulalah yang bisa
menunjukkan mengapa Bung Karno sejak muda sudah menghubungkan soal perjuangan
bangsa Indonesia dengan perjuangan bangsa-bangsa lain.
Dalam tulisannya
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dalam Suluh Indonesia Muda itu (1926) ia
sudah menegaskan bahwa “nyawa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat,
yaitu NASIONALISTIS, ISLAMISTIS DAN MARXISTIS” (ungkapan dalam bahasa Belanda.
Pen). Dinyatakannya di situ bahwa “Partai Boedi Oetomo, Nationaal Indische
Partij, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia
dan masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai roh
Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme”. Juga dinyatakannya :” Bukannya
kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu”.
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu”.
Bagi mereka yang belum
pernah membaca tulisannya itu (terutama bagi berbagai tokoh partai atau
berbagai organisasi, baik yang Islam maupun yang lainnya) adalah sangat berguna
untuk bisa membacanya dengan cermat, dan, sedapat mungkin, juga menghayatinya.
Tulisannya itu, merupakan karya pemikirannya yang cemerlang. Di dalamnya, ia
dengan cukup jelas membahas masalah nasionalisme, masalah Islam, masalah
Marxisme.
TAP MPRS 25/1966 JUGA
UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO
Aspek yang jarang
terfikir oleh banyak orang adalah bahwa TAP MPRS 25/1966 adalah juga salah satu
cara untuk menghancurkan sejarah dan ketokohan Bung Karno. Hal-hal yang
dikemukakan berikut mungkin bisa merupakan bahan bagi pemikiran kita bersama :
- Pimpinan TNI-AD
mengetahui (waktu itu) bahwa PKI adalah pendukung yang besar (dan aktif)
terhadap politik Bung Karno sejak tahun-tahun 50-an, baik yang berkaitan dengan
masalah-masalah dalamnegeri maupun luarnegeri. Dan sesuai dengan perkembangan
situasi nasional dan internasional waktu itu, dukungan PKI kepada Bung Karno
juga makin lama makin membesar. Para pakar sejarah, atau pengamat politik yang
cermat, tentunya ingat bahwa Bung Karno, sebagai nasionalis kiri dan
revolusioner memang sejak muda sudah menjadi musuh kolonialisme Belanda dan
kemudian (sejak tahun 1950) juga sudah “diincar” oleh imperialisme Barat,
terutama AS dan Inggris.
- Berbagai data, bukti,
analisa, yang dibikin oleh ahli-ahli Barat telah membongkar bahwa dalam rangka
“perang dingin”, Bung Karno memang sudah sejak lama harus dilawan, dikalahkan,
bahkan “dihancurkan” baik oleh musuh-musuhnya di dalamnegeri maupun luarnegeri.
Antara lain, buku “Plot TNI AD-Barat di balik tragedi ‘65” , yang diterbitkan
bersama-sama oleh LSM Tapol, MIK, dan Solidamor (Juli 2000), sudah menyajikan
sebagian dari bahan-bahan tentang latar-belakang digulingkannya Bung Karno.
Buku ini merupakan kumpulan penting tulisan ahli dan peneliti terkenal,
umpamanya : Coen Holtzappel, W.F. Wertheim, David Johnson, Kathy Kadane, Ralp
McGehee, Mark Curtis, Mike Head (mengenai peran kekuatan asing dalam
penggulingan Bung Karno ini ada catatan tersendiri. Pen). - Bung Karno sudah
terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang menggunakan cara
berfikir marxis, dan Marhaenisme dinyatakannya sebagai pentrapan Marxisme dalam
kondisi kongkrit Indonesia. Di samping itu Bung Karno telah mencetuskan gagasan
NASAKOM, dan kemudian juga memimpin untuk dilaksanakannya konsepsinya ini di
berbagai bidang. Oleh karenanya, dalam rangka inilah TAP MPRS 25/1966 juga
berfungsi untuk menghancurkan ketokohan Bung Karno dalam sejarah bangsa kita.
Dengan melarang Marxisme, secara langsung atau tidak langsung ajaran-ajaran
Bung Karno juga menjadi
“terlarang”, selama lebih dari 32 tahun. Karenanya, dalam jangka yang lama sekali semasa Orde Baru, banyak orang tidak berani bicara atau menulis tentang Marhaenisme atau tentang Bung Karno. . · * *
“terlarang”, selama lebih dari 32 tahun. Karenanya, dalam jangka yang lama sekali semasa Orde Baru, banyak orang tidak berani bicara atau menulis tentang Marhaenisme atau tentang Bung Karno. . · * *
Mengingat hal-hal
tersebut di atas, maka makin jelaslah kiranya, mengapa para pendiri Orde
Baru/GOLKAR telah menggulingkan Bung Karno, dan mengapa pula para pendukung
setia Orde Baru terus-menerus selama puluhan tahun berusaha merusak citranya
sebagai pemimpin bangsa. Juga, makin jelas mengapa kekuatan-kekuatan asing
(terutama AS dan Inggris) berkepentingan sekali untuk ikut aktif
menggulingkannya, sebagai bagian dari pergolakan "perang dingin"
waktu itu. Dan, untuk tujuan itu, maka PKI sebagai pendukungnya yang besar,
haruslah dihancurkan terlebih dulu. Penghancuran PKI telah melapangkan jalan
bagi penghancuran Bung Karno, baik secara fisik maupun secara politik.
Sebagai akibat
dihancurkannya kekuatan PKI dengan cara-cara yang luar biasa ganasnya, Orde Baru/GOLKAR
juga telah dengan mudah melumpuhkan seluruh kekuatan pendukung Bung Karno
lainnya, terutama para pendukung Marhaenisme. Gagasan besar Bung Karno yang
diidam-idamkannya sejak umur 25 tahun, yaitu NASAKOM, dihabisi oleh Orde Baru.
Dengan dilumpuhkannya kekuatan pendukung Bung Karno dalam jangka yang begitu
lama, maka bangsa kita telah mengalami kemunduran dan kerusakan yang besar di
berbagai bidang. Persatuan dan kerukunan nasional menjadi tercabik-cabik,
Pancasila telah dirusak, KKN merajalela, agama telah diperalat untuk
tujuan-tujuan yang tidak luhur, moral di kalangan atasan sudah makin membusuk,
hukum diperjual-belikan,
kepentingan "rakyat kecil" diabaikan. Sekarang, banyak di kalangan rakyat melihat sendiri, bahwa sebagian besar di antara para pendiri Orde Baru/GOLKAR ( yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno dan menggulingkannya), ternyata bukanlah tokoh-tokoh yang terhormat atau patut dihormati oleh rakyat. Sebaliknya, sekarang banyak orang mulai melihat (lagi!) sosok Bung Karno sebagai pemimpin rakyat yang sebenarnya.
Perjalanan waktu di kemudian-hari pasti akan lebih menunjukkan lebih jelas lagi bahwa ia memang seorang tokoh yang patut menjadi kebanggaan kita bersama.
kepentingan "rakyat kecil" diabaikan. Sekarang, banyak di kalangan rakyat melihat sendiri, bahwa sebagian besar di antara para pendiri Orde Baru/GOLKAR ( yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno dan menggulingkannya), ternyata bukanlah tokoh-tokoh yang terhormat atau patut dihormati oleh rakyat. Sebaliknya, sekarang banyak orang mulai melihat (lagi!) sosok Bung Karno sebagai pemimpin rakyat yang sebenarnya.
Perjalanan waktu di kemudian-hari pasti akan lebih menunjukkan lebih jelas lagi bahwa ia memang seorang tokoh yang patut menjadi kebanggaan kita bersama.
Paris, 6 Mei 2001
Satu Abad Bersama Nusantara
Oleh Daniel Dhakidae
Oleh Daniel Dhakidae
M@RHAEN menyiarkan bahan
yang dikirimkan oleh pengunjung laman M@RHAEN daripada negara seberang Selat
Melaka untuk bacaan dan renungan kita bersama. M@RHAEN tidak melakukan sebarang
suntingan, sebaliknya mengekalkan penggunaan bahasa Indonesia seperti teks asal
yang diterima.
Satu Abad Bersama Nusantara
Dengan itu sebagai titik
tolak-idealisme, sense of destiny, dan apa yang dicapainya-penerbitan khusus
ini mau memeriksa Soekarno pada hari ulang tahunnya yang ke-100 sebagai suatu
gejala historis. Kalau Soekarno sendiri mungkin tidak dengan mudah menilai
dirinya, semakin besar pula kesulitan itu untuk kita. Kesulitan itu semakin
besar lagi ketika kita harus memeriksa kembali diri Soekarno-30 tahun setelah
meninggalkan dunia ini, 45 tahun setelah dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun
setelah dilahirkan ibunya. Semuanya menjadi suatu kompleks dari persoalan
karena meninggalnya 30 tahun lalu bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib
Sein zum Tode akan tetapi karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi-betulkah
dia mati wajar? Kejatuhannya lebih membingungkan ketika semuanya berpusat pada
pembunuhan enam jenderal-betulkah PKI yang membunuh dengan konsekuensi
menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau mereka dibunuh oleh
anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan dengan itu tidak perlu
menjatuhkan Soekarno.
Hannah Arendt tidak
mengalami kesulitan ketika harus mengucapkan eulogia kepada Karl Jaspers,
filosof eksistensialis-teman, kolega, yang mendapatkan hadiah perdamaian
Jerman. Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt, daripada
puja-pujian, laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya "in
laudationibus...ad personarum dignitatem omnia referrentur", dalam
puja-pujian semuanya mengacu kembali kepada kebesaran pribadi-pribadi itu,
terutama karena mereka membuktikan dirinya dalam hidup.
Di sana justru letak
seluruh kegemasan memeriksa Soekarno, karena jajaran antara dignitas personae
dan pembuktian diri dalam hidup tidak selalu seiring, apalagi persoalan yang
ditinggalkan Soekarno, seperti konsekuensi ekonomi-politik dan karena itu
kemanusiaan yang berasal dari keputusan-keputusannya. Menilai Soekarno
semata-mata dari kebesarannya-kalau bukan pendasar maka Soekarno adalah
penganjur paling vokal nasionalisme Indonesia, proklamator kemerdekaan-selalu
membingungkan dan juga memusingkan karena di samping kebesaran di sana langsung
menyusul kekerdilan, di samping kecemerlangan langsung menyusul diletantisme,
di samping keberanian revolusioner langsung saja menyusul kekecutan, dan
ke-pengecut-an. (Baca: Valina Singka Subekti)
Di pihak lain
mengecilkan Soekarno hanya karena persoalan yang ditinggalkannya-semua masalah
pra dan pascaperistiwa tanggal 1 Oktober 1965, pembunuhan jenderal-jenderal
oleh para perwira bawahannya--sungguh menyesatkan dari satu ujung ke ujung
lainnya dan bagi generasi-generasi berikutnya menjadi penipuan terencana.
Lantas pertanyaan-untuk siapa pun yang berminat memeriksa Soekarno secara
sungguh-sungguh-harus diajukan kembali lagi ke dasar paling awal: siapa
Soekarno? Apa yang dibuat Bung Karno? Apa yang ditinggalkan Presiden Republik
Indonesia pertama, Pemimpin Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat?
Satu Abad Nusantara Bersama Soekarno
Soekarno adalah seorang
cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama
yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya
sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari
dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan
paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari buku
setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun
1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" yang
paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya
memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26
tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun, dan Engels, 28
tahun, menulis Manifesto Partai Komunis.
Marx dan Engels membuka manifestonya
dengan kata-kata "a spectre is haunting Europe--the spectre of
Communism", ada hantu yang menggerayangi Eropa--hantu komunisme. Soekarno
membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto
Soekarno-isch:
Sebagai Aria Bima-Putera,
jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat
tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada
dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja,
tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang
lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa adanja", sudahlah lalu. Zaman
baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.
Paralelisme antara
manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno
membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan
tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ
organisasi Algemeene Studie Club, yang juga didirikannya: "Sebagai Aria Bima-Putera,
jang lahirnja dalam zaman perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus
menjadi secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang
menjadi orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri.
Imaji Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya
tentang Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh,
cerdik-pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa
tanggung jawab yang besar. Ia sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai
ksatria yang mempunyai 'otot kawat balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga,
drijit gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka,
1991)
"Hantu"
Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis
dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam standing
order:"...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil
Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam "hantu",
spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu
harus dipahami dalam arti hantologie-dan bukan ontologie sebagaimana Marx
selalu ditafsirkan--sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi.
Dalam manifesto
Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada
reduksi lagi-yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari
kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah
satu syarat terpenting adalah persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu
kembali seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia
merasa tak senang dengan nasibnya, yaitu nasib kolonial yang tidak adil. Dalam
paham Soekarno kolonialisme itu tidak lain dari soal kekurangan rezeki, dan
"kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah
mentjari rezeki dinegeri lain!".
Dalam paham Soekarno di
Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi ketika "rakjat-rakjat
Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia" (untuk para pembaca muda
"mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah Asia-Penulis).
Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat
Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada mempunyai tiga sifat:
nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja".
Apa yang dipahami
Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno,
untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang
orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh mencengangkan bahwa
menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan
nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl
Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada
Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto
ditulis dan diumumkan tahun 1847--tahun sesungguhnya adalah bulan Februari
1848. Semua kekeliruan "kecil" di atas harus dimaafkan karena lebih
bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi
Teknik di Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah tamat karena Soekarno
menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda, tidak
diperoleh).
Apa sesungguhnya yang
dipahami Soekarno tentang ketiganya? Bisalah dikatakan di sini bahwa apa yang
dicita-citakan Soekarno adalah suatu mission impossible baik dari segi teoretis
maupun dari segi praktis. Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme
voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya
yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas ekonomi-politik. Karena itu ketika
Soekarno mengatakan bahwa:
...asal mau
sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan
ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin
sentausa" ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan
keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi
wishful thinking baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara
Wardaya) Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan
begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas
dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme,
Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan
fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan
marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz)
Soekarno dan suratan takdir
Semakin Soekarno
diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan
takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang
lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu,
sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926 sampai
dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta. Setelah jatuh pun Orde Baru tidak
mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak
pernah mengenalnya. (Baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar
geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu
Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun
bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi
fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun
sesudah Indonesia merdeka.
Secara intelektual dan
politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin
menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika
harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu
yang sangat dibencinya yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena
itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain,
meski kemudian dia dikhianati militer.
Dalam hubungan dengan
gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih
penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam
arti kebebasan-Soekarno menjadi anti-Soekarno-sesuatu yang mungkin lebih
diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh
tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan sawomatang dari bangsanya
sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari
Soekarno.
* Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar